Ilustrator: Raihan Rasyid |
Pagi
ini, Bagas baru saja memasuki ruang kerjanya. Ia mendapati wajah-wajah kesal
dari tim proyeknya. Bagas yang merasakan aura negatif dari mereka segera
mengelus tengkuknya yang terasa dingin.
“Tumben
pagi-pagi udah pada pasang mode siaga?” tanya Bagas yang masih kebingungan.
“Bapakmu tuh, Gas! Dasar si Kumis Edan! Dia kira kita mesin
apa?” Rengganis,
gadis manis bermulut sadis itu mulai mengeluarkan taringnya.
Bagas
yang masih kebingungan semakin mengerutkan keningnya. Dengan langkah pelan,
Bagas kemudian duduk di meja kerjanya.
“Bang
itu si Bos Kumis kenapa lagi?” tanya Bagas pada Bang Toni, seniornya selama
bekerja di studio.
“Kek
kagak paham si Kumis aja kamu, Gas. Biasa, scene buat animasi baru kita
harus selesai dalam satu bulan,” ujarnya malas.
Bagas
kaget. Ia membulatkan matanya.
“Apa!?” Bagas sampai hampir
terjatuh dari kursinya. “Sebulan, Bang?!”
“Iya, satu bulan.”
“Rapat
kemarin kan waktunya dua bulan, dua bulan aja udah cepet lho. Masak cuma
sebulan, ini satu scene bisa 20 menit lho bukan komik dua
lembar.”
“Duit,
Gas. Semua demi duit!” Rengganis berteriak jengkel mendengar Bagas terus
bertanya.
“Udahlah,
Gas, mending kamu kerjain bagianmu sekarang! Rengganis lagi mode macan. Kamu
kalau banyak tanya, bisa-bisa dicakar sama dia,” pinta Toni.
Bagas
melirik Rengganis yang wajahnya sudah memerah padam. Dengan segera, ia
menghidupkan komputernya dan larut dalam pekerjaannya.
Jarum
jam yang tergantung di tembok ruangan itu terus bergerak, tanpa dirasa sudah
masuk jam makan siang. Lonceng kecil yang sengaja dipasang di atas pintu masuk
ruangan berbunyi karena pintu terbuka.
“Hai
tim, gimana progres proyek kita?” suara ceria pria muda berkumis tipis memasuki
gendang telinga orang-orang di dalam ruangan. Bukannya disambut dengan ceria
juga, pria itu hanya mendapat lirikan dari beberapa orang di ruangan. Bang Toni
yang biasanya ramah bahkan tidak berpaling sedikit pun dari layar monitornya.
Bagas yang merupakan anggota termuda hanya melirik teman-temannya. Rengganis
nampak kesal melihat kedatangan pria itu.
“Sore
ini kirim hasil kalian untuk saya cek ya!” katanya lagi dengan nada seolah
tanpa beban.
Padahal
semua orang dalam ruangan itu sedang menahan diri agar tidak melemparinya
dengan barang-barang di sana. Bagas bergidik saat matanya melihat Rengganis
memegang erat wadah pensil yang terbuat dari tanah liat.
Kemudian,
pria berkumis itu menutup pintu ruangan dan kembali ke ruangannya tepat sesaat
sebelum wadah pensil Rengganis menghantam pintu yang tertutup rapat. Semua
orang mematung kaget. Bagas mengelus dadanya yang sesak, membayangkan jika
wadah itu menghantam wajah Bos Kumis.
****
Tiga
minggu berlalu, tugas animator dan ilustrator selesai juga. Kini, Bagas tengah
berada di ruang kerja Seiyuu. Beberapa dari anak Seiyuu sudah mulai melakukan
pengisian suara animasi. Saat Bagas sedang asyik mengamati mereka, beberapa
anak Seiyuu masuk ruangan dengan memasang wajah bingung.
“Kenapa,
Bang?” tanya Roki, salah seorang anak Seiyuu yang duduk di dekat Bagas pada
salah seorang pria di sana.
“Waduh,
Ki. Si Ayu gabisa dubing hari ini, sakit radang tenggorokan dia,” keluh
Bang Boris, penanggung jawab pengisian suara proyek ini.
“Terus
gimana, Bang?”
“Nggak
tau aku, Ki. Padahal kalau radang butuh waktu lama buat balikin suara,” Bang
Boris mengusap wajahnya yang nampak lelah. Bagas yang bukan anak Seiyuu hanya
bisa berdiam diri tanpa memberi bantuan.
Bos
Kumis memang mirip tukang tahu bulat, sukanya dadakan dan maunya hasil maksimal
tanpa memikirkan kondisi karyawan. Apalagi urusan kesehatan. Kalau karyawan
sakit, selagi masih bisa berdiri, ia masih tak terlalu peduli.
“Semisal
Meisa nge-back
up suara yang dipegang Ayu bisa nggak, Bang?”
Roki menatap Meisa yang baru saja keluar dari ruang rekaman.
“Weh,
kamu kira pita suaraku dari karet ban?” Meisa melempar Roki dengan kertas
naskah di tangannya. “Nggak bisa gitu, Bang, aku udah pegang tiga
karakter. Kalau aku pegang karakter punya Ayu juga, bisa-bisa suaraku abis.”
“Terus
gimana, masak aku yang pegang karakter si Ayu? kan nggak lucu,” Roki
menatap Meisa tak terima.
Bang
Boris semakin terlihat lelah, pikirannya sudah mentok. Akhirnya Meisa bersedia,
walau amat terpaksa. Bekerja sesuai dengan minat dan bakat ternyata tidak
menjamin mereka aman dari tekanan seperti sekarang.
****
Hari
akhir final project yang digarap Bagas dan teman-teman akhirnya tiba.
Bagas yang menggantikan Bang Toni untuk rapat dengan klien sekaligus membahas
kelanjutan proyek mereka nampak tegang. Suasana ruang rapat yang didesain
hangat itu justru terasa dingin dan mencekik. Bagas menyenggol lengan Bang
Boris yang wajahnya bahkan lebih parah dari terakhir kali pertemuan mereka di
ruang Seiyuu. Di samping Bang Boris, ada Ardi, ilustrator yang dengan hikmat
mencatat setiap komplain yang didapatkan dari klien. Jangan ditanya bagaimana
wajah dari Bos Kumis, Bagas sampai tidak mau melihat ke arah wajah bosnya.
“Saya
sangat kecewa dengan hasil proyek ini. Untuk animasi dan skrip saya suka, tapi
eksekusi yang lain buruk sekali!” Klien tersebut meletakkan kertas kontrak di
tangannya. “Rugi banyak saya dalam proyek ini, bahkan setelah saya bayar mahal
hasilnya jauh dari ekspektasi saya.”
Setelah
berjam-jam negoisasi dalam rapat, akhirnya klien setuju untuk tetap melanjutkan
proyek dengan beberapa perjanjian kontrak yang diubah. Mereka bahkan meminta
uang yang telah ditransfer dikembalikan sebagai kompensasi atas kinerja rumah
studio mereka yang buruk. Mau tak mau, si Bos Kumis harus merogoh dompet
pribadinya karena ini keputusannya, menerima proyek dengan waktu singkat tanpa
ada rapat ulang bersama para karyawannya.
Bukannya
untung malah buntung.
Begitulah nasib Bos Kumis yang sering semena-mena dan memberikan keputusan
mendadak tanpa ada persetujuan dari pihak lain. Bagas yang juga kesal dengan
perilaku bosnya bahkan tidak ada niatan untuk menghibur Bos Kumis yang baru
saja kehilangan puluhan juta uang pribadinya.
****
Penulis:
Afidatul I. dan Raihan Rasyid