Pada Jumat sore hingga
malam hari, aksi demo di
Magelang, Jawa Tengah berakhir ricuh. Aksi itu dipicu oleh kematian seorang driver ojek
online, Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polda
Metro Jaya di Jakarta, Kamis (28/8/2025). Peristiwa tragis ini terjadi saat
Affan tengah mengantar pesanan dan melewati kerumunan demonstran. Insidrn ini
memicu amarah publik dari berbagai daerah. Aspirasi di berbagai wilayah
dilakukan untuk menyuarakan kemarahan atas peristiwa tersebut, sekaligus
mengecam sikap acuh para anggota dewan yang bungkam selama aksi berlangsung.
Massa
yang menggeruduk Polres Kota Magelang didominasi oleh kalangan remaja dengan
berpakaian serba hitam. Mereka merusak pos penjagaan polisi dengan melemparkan batu,
kembang api, dan umbul-umbul yang akan dipakai untuk karnaval. Situasi yang
semakin tidak terkendali membuat polisi membubarkan massa menggunakan gas air
mata. Pukul 18.45 WIB, para aparat masih berjaga di lokasi. Wali Kota Magelang,
Damar Prasetyono bersama Sekda Hamzah Kholifli mendatangi Mako Polres Kota Magelang,
kemudian disusul oleh Bupati Magelang, Grengseng Pamuji.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa demo merupakan hak dasar setiap warga negara yang
dijamin oleh konstitusi. Itu adalah napas demokrasi, sebuah mekanisme kontrol
sosial agar suara rakyat didengar oleh penguasa. Namun, ketika aksi tersebut
berubah menjadi huru-hara dan pengrusakan, esensinya seketika hilang. Pesan
moral yang ingin disampaikan kepada aparat kepolisian menjadi bias. Alih-alih
mendapat simpati, publik justru memandang para demonstran sebagai “oknum
perusuh” yang tidak bisa diajak bicara secara kompromi.
Bukankah
lebih bijak jika penyampaian aspirasi dilakukan tanpa kekerasan? Kami tidak
menafikan kemungkinan adanya provokasi atau infiltrasi dari pihak ketiga yang
sengaja ingin merusak jalannya aksi damai. Namun, kondisi ini kembali
menegaskan lemahnya koordinasi dan pengawasan dari para penanggung jawab aksi. Sebuah
unjuk rasa yang terorganisasi dengan baik seharusnya mampu mengantisipasi dan
mengendalikan emosi massa, mengisolasi para provokator, dan memastikan aksi
berjalan tertib.
Sudah
saatnya budaya berdemo kita mengalami evolusi. Demo bukan tentang siapa yang
paling berani melemparkan batu, tapi tentang siapa yang paling mampu
menyampaikan argumentasi dengan cerdas dan efektif. Gunakanlah senjata orasi
yang membangkitkan semangat, atau karya seni. Itu jauh lebih powerful
dan elok.
Aksi
di Magelang dan beberapa kota atau daerah lainnya harus menjadi cambuk bagi
semua pihak. Baik bagi aparat kepolisian untuk introspeksi diri dan lebih
membuka ruang atau jalan untuk rakyat bersuara. Sementara itu, bagi masyarakat
untuk tidak mudah terprovokasi oleh emosi sesaat. Jangan biarkan amarah
membakar nalar dan merusak kota yang kita cintai bersama. Suara rakyat akan
tetap bergema selama disampaikan dengan cara yang benar, tanpa perlu
meninggalkan jejak kehancuran.
Penulis: Devi dan Naura
Editor: Yeni Mahal
Layouter: Amar
Tim Redaksi :
1.
Devi
Anugrahi Rahmawati [NIJ.2024.17.428]
2.
Naura
Rasmi Nirwasita [NIJ.2024.17. ]