RAHASIA BESAR HIJABKU
Kisah ini adalah rahasia besarku yang akan aku ceritakan pada kalian, tidak akan jadi rahasia lagi ketika aku menceritakannya. Bagaimanapun hal baik akan aku sampaikan pada cerita rahasiaku kali ini, Allah-lah yang menyampaikan kebaikan ini, akulah perantara-Nya. Begini rahasiaku :
Aku adalah yatim piatu yang tinggal di Panti Asuhan Bunda Kasih, lingkungan sekitarku mayoritas non muslim, dan yang pasti aku juga non muslim. Pengasuhku memberikan pilihan agama kepadaku saat aku berumur 10 tahun, dan tidak ada yang kupilih. Ateist, paham yang menyatakan tidak adanya Tuhan, aku, Hapiolin, memilihnya. Ibu pengasuhku tidak keberatan tentang ini, temankupun tidak. Selama 7 tahun aku menghabiskan umurku tanpa Tuhan tanpa sembah menyembah, aku hidup pada keputusasaan tentang segalanya. Nilai sekolahku hancur, kegiataanku benar-benar tidak disiplin, keluar masuk jam kelas seenakku. Aku lebih senang pergi bersama anak-anak jalanan, merokok, minum-minuman keras, main basket. Yaa!! Basket adalah keunggulanku, hanya itu, sepanjang 17 tahun ini aku hidup, basketlah yang mampu menjunjung namaku. Berbagai piagam basket dan medali berderetan. Akupun dipertahankan di sekolahku hanya gara-gara aku pemain basket yang handal, juara nasional tingkat SMA sederajat. Tetapi ketika aku ketahuan mengkonsumsi miras, tamatlah riwayatku di sekolah, aku dikeluarkan saat duduk di kelas 2 SMA.
Hidup, tentu saja berlanjut, saat aku sedang menuju markas untuk berkumpul, aku harus melewati jalan dekat pondok pesantren, karena jalan yang biasa kulalui sedang dipakai untuk hajatan. Inilah awal segala kesadaran dihidupku. Kamu pasti akan menebak aku masuk pondok tidak sengaja dan kemudian masuk Islam dan bertaubat, hahaha tidak semudah itu jika kamu tahu lika-liku hidupku, jadi begini :
Awalnya seorang santri perempuan lewat dihadapanku, anggun ramah dan santun, tapi aku tak mempedulikan itu. Seorang anak kecil lewat dan membanding-bandingkan aku denggan santri yang barusan lewat juga.
“Kakak ini bagaimana kok orang pondok gak berhijab, gak cantik ah, tuh liat kakak itu cantik kan?”
“Hei!! Mau dilempar sandal kau? Dasar bocahh!!” Dengan nada membentak aku bicara.
“Maafkan dia ukhti, dia hanya anak kecil yang masih polos, Hari jangan begitu lagi yah, semua orang itu berbeda-beda,” kata santri alim itu, kemudian bocah kecil itu masih nyerocos “Maaf kak, mungkin kakak non-Islam, maaf yah, kalau boleh tau apa agama kakak? Cerita-cerita dong,” kata si bocah jail ini. Aku pergi tanpa mempedulikan, tapi kemudian bocah ini menarik tanganku.
 “Ayolah kak,” katanya memelas.
 “Aku ateist,” kataku dan sontak perempuan itu kaget.
 “Masih adakah pemegang atheis di zaman ini?” Katanya terheran-heran.
“Aku, buktinya,” kataku dengan sengit.
“Emm tentu, itu pendapat anda, ukhti, ya sudah, maafkan saya dan Hari yah yang terlalu lancang,” katanya dengan penuh senyum. Si bocah tadi mengusulkan pendapatnya “Bagaimana kalau kita taruhan kak?”
“Taruhan? Uhh tidak, ngapain aku taruhan sama bocah sepertimu.”
“Tapi kakak takut, ah cemen sekali, padahal hanya lari dari sini sampai pohon depan, kalau kakak menang aku kasih uang Rp 100.000 ini, padahal ini adalah uang dari pak Kyai untuk keperluanku dalam 1minggu, tapi tak apa, kalau kakak kalah, kakak harus berhijab selama 1 minggu dan ikut kegiatan dipondok, bagaimana?”
Sontak aku kaget taruhannya hanya itu? Aku meledak tertawa “Hahahahaha kau tidak nangis kalau aku menang?”
“Tentu saja tidak,” katanya.
Setelah kejadian itu, aku mengenakan hijab kemana-mana, ya, aku kalah, ternyata Hari adalah atlet lomba lari tingkat provinsi, ahh sudahlah, kesepakatan aneh ini terlanjur kusepakati. Awalnya panas, pengen mencopotnya, apalagi di panti aku dikatakan anak yang konyol, ya konyol sekali. Tidak masuk Islam tapi mengenakan hijab. Dalam kegiatan pondok, ada kajian Minggu sore, akupun terpaksa ikut. Awalnya aku tak mendengarkan, tetapi ketika seorang ustadz berceramah, seperti ini kira-kira kutipannya :
“Selangkah anak perempuan keluar dari rumahnya tanpa menutup aurat, maka selangkah juga ayahnya itu hampir ke neraka, Astaghfirullah nauzdubillah, kalian sayang kan kepada ayah kalian, tentunya iya kan? Nah kalian tega keluar tanpa hijab dan pergi berlangkah-langkah, yang sama saja ayah kalian berlangkah-langkah menuju neraka?”
“Bagaimana kalau kita yang dibuang, tidak diharapkan sama sekali oleh ayah kita sendiri? Bukankah pantas untuk menjatuhkannya keneraka?” debatku.
Dia menjawab dengan penuh senyum, “Bagaimana Anda tahu kalau ia tidak mengharapkan Anda? Apakah Anda tahu dimana keberadaannya? Atau mungkin ia sudah sangat menantikan Anda diakhirat untuk menolongnya? Nah, sebaik-baik manusia, ia yang berbakti pada kedua orang tuanya.
Setelah hari itu aku terus menerus memikirkan bagaimana orang tuaku saat ini, entah masih hidup ataupun tidak, bagaimana kalau ayahku sudah diambang neraka. Satu minggu sudah aku mamakai hijab dan akau meneruskannya, hari demi hari aku lalui memakai hijab tetapi belum masuk Islam. Mungkin bagaikan sebuah batu yang keras sekalipun, akan dapat berlubang jika ditetesi oleh air secara terus menerus. Setelah hijab menyelimutiku, aku selalu berusaha berperilaku anggun dan sopan karena hijabku ini. Setelah 2 minggu berlalu, aku memutuskan Islamlah jalanku, dua kalimat syahadat telah meluncur dengan mantap dari bibirku. Kain pendingin segala pikiranku telah kupilih dengan sangat yakin. Dengan hijab aku selau dihormati, kemana-mana mereka tersenyum ramah padaku, bertemu orang-orang tak kukenali sekalipun mereka tersenyum hangat, indah sekali kain ini, kain yang menutupi seluruh tubuhku kecuali muka dan tangan.
Dari hijab itu, aku bolak-balik pondok panti, aku tidak bisa meninggalkan panti begitu saja, tempat aku dibesarkan dan pondok, tempatku belajar tentang jalanku saat ini. Akupun masih mengunjungi anak-anak jalanan, walau tidak sering, tapi aku tetap berkomunikasi baik dengan mereka, bermain basket bersama. Bagiku itu tidak masalah, dengan siapapun kita bergaul asalkan dapat menyaring yang baik dan yang buruk. Di pondok, kegiatan tidak hanya mengaji, akupun selalu ikut kegiatan basket. Kemudian, singkat cerita, surat dari pemerintah tertuju padaku untuk mengikuti pelatihan basket perempuan tingkat SMA sederajat di Jakarta. Aku meninggalkan pondok dan panti. Sangat berat memang meninggalkan segala kenangan panjang di panti, meninggalkan segala kenangan pendek namun sangat mengubah pandangan hidupku, tapi aku pasti kembali untuk jadi yang lebih baik.
Disana dilatih untuk mengikuti perlombaan tingkat Internasional, aku terpilih sebagai kapten. Dan lagi aku tertimpa ujian setelah 5 bulan berhijab, surat keputusan panitia basket Internasional tidak mengizinkaku mengenakan hijab. Tak gentar dengan kedua-duanya aku melaju untuk Indonesia. Bagaimana dengan hijabku? Mereka mengetahui aku menggunakan lengan panjang dengan rambut terikat tanpa hijab. Ya, anak-anak santri di pondok dulu, jelas mencemoohku, tidak hanya mereka, tapi juga orang Islam di Indonesia “Ya, Hapiolin memang bukan Islam, seperti itu saja sudah dicopot hijabnya,” mendengar kalimat itu di sosmed dan berbagai media membuatku tutup telinga, toh aku masih berhijab, dan tidak semua mencemooh, adapula yang bangga padaku karena tetap melangkah untuk Indonesia.
 Pada saat malam sebelum keberangkatan lomba, aku dipanggil pelatih Jo, beliau adalah seorang muslim, dia mempersilahkan aku duduk dihadapannya dengan batas meja kerjanya.
 “Kamu yakin menerima segala cemooh ini? Ya, kamu benar ini juga untuk kepentingan bangsa, aku tahu kamu mengalami pertimbangan yang sulit tetapi pasti matang, seperti kata orang tua jaman dulu, yang manis jangan cepat-cepat ditelan yang pahitpun jangan cepat-cepat dimuntahkan, tetapi harus ditimbang bagaimana baik buruknya, saya ingin kamu menyampaikan kebenaran, sampaikan saja”
“Pelatih Jo, aku tidak melepasnya, tidak.” Kemudian aku melepaskan rambut palsuku, maka nampaklah hijabku, aku menggunakan hijab dan selalu kukenakan lengan panjang, serta baju sampai menutupi leher. Aku tersenyum tulus,
 “aku tidak benar-benar mencopotnya”
Pelatih Jo sesaat menitikkan airmata, “Saya sangat-sangat bangga padamu, ya, jangan dengarkan semua cemooh orang yang tidak tahu kebenarannya lin, kau murid sekaligus guruku juga.
“Terimakasih Pelatih Jo,” lalu aku kembali bergabung dengan teman-teman yang lain untuk mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa besok pagi dalam pertandingan.
Singkat cerita, aku telah sampai di gedung basket dimana perlombaan akan dimulai. Karena ingin menenangkan diri, aku akhirnya ijin ke kamar kecil. Aku pikir tiada orang, aku membuka rambut palsuku, kupandangi kain yang indah dalam kepalaku, dalam cermin nampak gadis anggun berada, aku tersenyum.
Seketika pula aku kaget, lawanku dari negara lain mengetahui rambut palsuku, seketika ia berkata “What are you doing? You should not like that, I will tell the referee”
“No, really not like that, not like you see, jelasku
Tapi perempuan bule itu tetap kekeh pergi ke ruang sekretariat, tamatlah perjuanganku. Akupun segera dipanggil ke ruangan sekretarit, panitia lomba, Mr. Han menatap dalam padaku, dengan baju lengan panjangku uuhh, serasa berada dalam sebuah pengadilan tanpa pembela. Mr. Han kemudian memintaku untuk menunggu terlebih dahulu. Pelatih Jo rupanya sudah berada pada ruang perundingan. Aku dirundingkan hanya karena hijab, Ya Allah sesulit inikah jalan kebenaran?
            Setelah mereka berunding cukup lama akhirnya aku disuruh masuk kedalam ruangan perundingan tertegang itu. Salah satu dari mereka berkata padaku “I see your talent, potential, and keep to put up a good fight for your religion and your country, and than we are proudly if you stay for your team to give the best use everything you have of all.” Dengan penuh senyum aku menjawab “thank you very much, of course, I will give the best.” Setelah itu pun aku bertanding mengenakan hijabku tanpa rambut palsu, jelas itu menggemparkan dunia. Aku sangat bersyukur, Dia memang Maha Mendengar doa setiap hambanya.
            Walaupun aku pulang hanya membawa medali perak, tapi aku disambut di negeri tercintaku. Aku diberi banyak penghormatan. Walaupun aku dipuji banyak orang tentang kepercayaanku yang benar-benar kupegang erat, tapi seperti kata seorang ustadz di pondok dulu, “Aku adalah seorang muslimah, agamaku Islam, jika aku salah dalam Islam, jangan salahkan Islam tapi salahkan saya sebagai hamba yang tak luput dari sebuah dosa, dan ketika saya melakukan kebenaran itu semua karena Islam yang menuntun saya,” kata-kata uztads itu ku ucapkan sebagai jawaban dari para wartawan.
            Tidak hanya sampai itu sebuah hijab dihidupku, mereka (yang telah menghujatku) sebenarnya tidak tahu menahu soal rambut palsuku dan soal hijab dikepalaku, dan akupun tak beniat memberitahu hal konyol tersebut, aku meminta kepada panitia bahwa itu tak pelu dipublikasikan dan tak perlu dikoar-koarkan sebagai muslim yang selalu taat. Akupun masih belajar, tentang agama, kitab, hijab, perilaku, dan segalanya. Hidupku lebih memiliki arah ketika aku mengenakannya. Segala yang terjadi dalam hidupku yang terlihat keren pun karena sebuah hijab, akupun tersenyum sangat tulus untuk segala yang diberikan-Nya.
Sejak itupun aku tahu, pandangan oranglain berbeda. Presepsi orang berbeda. Kita tidak perlu menjelaskan apapun tentang diri kita dihadapan banyak orang, mereka yang menyukai kita tidak butuh itu, mereka yang membenci pun, sama sekali tidak peduli. Maka aku putuskan aku tetap berhijab dengan jalanku. Basket, hanya itu yang selalu membuatku bernama, dan hijab aku tak meninggalkannya, karena itu yang membuatku dihormati, walaupun kali ini aku tak sehormat dulu, tapi aku yakin Allah Swt, lebih tahu tentang diriku. Entah bagaimana hormat dihadapan Sang Kuasa, tapi aku masih behijab, ya Allah, aku masih melangkah kemana mana tanpa membuat ayahku melangkahkan kakinya ke neraka kan? Sesaat cerpen ini kamu baca, sesaat pula kamu tahu rahasiaku. Terimakasih untuk mengetahui rahasiaku dan menggunakannya sebagai infomasi dan pembelajaran positif untuk kita semua.

Abaut Me:
Biodata narasi tentang penulis :
Nama saya Gita Setianingsih, saya adalah mahasiswa PBSI semester 1. Kota kelahiran saya adalah Kebumen. Motivasi saya menulis datang dari seorang sastrawan legendaris, Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa dengan membaca kita akan mengetahui dunia dan dengan menulis dunia akan mengenal kita. Terimakasih atas perhatian pembaca, semoga dapat memberikan manfaat, Aamiin.
 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama