Ilustrasi
: www.reddoorz.com
Siang ini teramat terik, menambah buruk
suasana hatiku. Bagaimana tidak? Perusahaanku baru saja mengadakan PHK masal
karena collapse. Dan aku menjadi pengangguran
mulai siang ini juga. Aku pikir hidupku akan semakin lebih baik saat diterima
di perusahaan yang telah merekrutku selama dua tahun ini. perusahaan yang telah
lama dibangun dan memiliki reputasi yang baik. Tidak aku sangka akan berakhir
seperti ini.
Aku berbelok memasuki gang kecil atau bisa
dibilang jalan tikus untuk lebih cepat sampai halte bus yang nanti akan kunaiki
menuju kontrakanku. Gang ini sering sepi bahkan di siang hari. Aku
mengetahuinya karena sering melewatinya, tetapi saat siang saja. Lalu harus
bagaimana aku sekarang? Mengetahui teramat susah mendapat pekerjaan apalagi di
kota metropolitan. Lamunanku tersadar
ketika aku tidak sengaja menabrak seseorang yang berpapasan denganku. Pantas
saja aku tak melihatnya, dia ada di bawah ditambah karena aku melamun. Dia
mengesot karena yang terlihat kakinya hanya satu.
“Maaf pak, saya tidak sengaja” ujarku
merasa tidak enak karena telah menabraknya.
“Tidak apa-apa nak” balasnya.
Bapak tua itu terlihat kesulitan karena
mengesot. Selain itu, penampilannya terlihat sangat lusuh.. Apakah dia seorang
pengemis? Aku segera mengenyahkan pemikiranku itu dan segera menanyainya.
“Bapak mau kemana? Biar saya bantu”
“Saya hanya ingin duduk disitu” dia
menunjuk belakangku dengan dagunya. Aku segera membantunya duduk.
“Baru pulang kerja?” Tanya Bapak tua itu
setelah berhasil mendudukan dirinya. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.
“Bapak…” aku hendak bertanya apakah dia
seorang pengemis tetapi terlihat tidak sopan sepertinya. Hingga yang terlontar
hanya kata tersebut.
Namun seolah dia memahami apa yang aku
pikirkan. Dia mengatakannya sendiri bahwa dia memang pengemis. Aku yang bingung
harus bagaimana memutuskan untuk berpamitan pergi meninggalkannya. Aku melangkah meninggalkannya dengan pikiran
yang bercabang. Di satu sisi aku memang kasihan terhadapnya mengingat dia hanya
mempunyai satu kaki. Namun di sisi lain aku merasa tidak terima mengapa dia
memilih menjadi pengemis? Apa benar-benar tidak ada pekerjaan yang bisa dia
lakukan dengan satu kakinya? Apa semudah itu dia menyerah dan menjadi
peminta-minta? Apa aku menyisakan sedikit uangku untuknya?
Baru beberapa langkah berjalan, aku
berhenti. Arrrgghh lagi-lagi egoku
kalah oleh nuraniku. Aku merogoh saku celanaku untuk mengambil sedikit uang.
Aku membalikkan badan untuk kembali menghampirinya. Belum sempat berjalan
menujunya, aku justru terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Bapak tua
itu…berdiri dengan dua kaki? Bagaimana bisa? Aku langsung berlari
menghampirinya dan langsung bertanya dengan wajah yang masih terkejut,
“Bagaimana bisa?”
Bapak tua itu tampak terkejut dengan
kehadiranku kembali tetapi langsung mengubah ekspresinya menjadi tersenyum.
Bukan senyum ramah, entah bagaimana aku mendefinisikannya yang pasti ini bukan
senyum yang diharapkan orang.
“Ada apa nak? Kenapa kembali? Ingin
meminta bantuan?” dia mengamatiku dari atas sampai bawah dengan tatapan remeh.
“Kamu baru di PHK kan?” pertanyaan dari
mulutnya membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Apa dia seorang cenayang?
Aku ingin menanyakannya langsung tetapi sebelum aku bertanya, dia sudah
berbicara lagi. “Oh atau ingin memberikanku uang? Tak apa, kemarikan, akan aku
terima dengan senang hati” Lalu matanya beralih ke tanganku yang mengepal di
kedua sisi dengan tangan kanan yang masih menggenggam uang. Dengan senyumnya
yang sungguh menyebalkan bagiku.
“Aku tidak sudi memberikan sisa uangku
kepada orang serakah seperti Bapak. Bagaimana Bapak bisa melakukan ini? Apa
ini? Pura-pura pincang dan menjadi seorang pengemis?!” entah mengapa aku begitu
marah dengan orang yang bahkan tidak aku kenal. Aku benar-benar merasa telah
dibohongi dan dijatuhkan saat ini.
“Hei nak, bagaimana bisa kamu mengatakan
diriku serakah? Sedangkan ada yang lebih pantas untuk mendapat julukan itu!”
bapak tua itu mengalihkan pandangannya dariku dan berbicara kembali, “Para
pejabatlah orang-orang yang serakah itu, mereka mengambil uang rakyat dan
menjadikan orang-orang sepertiku sengsara!” ujarnya dengan emosi yang tersirat.
“Kenapa Bapak menyalahkan orang lain
terhadap kesengsaraan Bapak sendiri? Bapak yang memilih menjatuhkan harga diri
dengan meminta belas kasih dari orang-orang yang telah Bapak bohongi. Alih-alih
berusaha mencari pekerjaan yang layak.” Aku memang setuju dengan perkataannya
perihal pejabat itu, tetapi untuk membenarkan seluruh perkataannya, aku tidak
setuju.
Dia manggut-manggut menanggapiku dan
kembali tersenyum miring. “Aku juga dulu sepertimu yang saat ini. Di PHK,
mencari kerja, tak dapat pekerjaan. Hingga aku berakhir seperti ini. Lalu
bertemu orang-orang sepertimu. Lalu apa? Mereka memilih menjadi seperti aku
dengan cara yang berbeda.”
Aku menggeleng tidak menyangka. Tanganku
semakin terkepal kuat. “Aku tidak akan seperti Bapak!”
Bapak tua itu justru tertawa mengejek
mendengar ucapanku. “Sudahlah. Jangan terlalu idealis dalam hidup. Idealismu
akan hilang ketika dunia tidak memihakmu.”
“Entah nantinya akan hilang atau tidak.
Aku tidak mau seperti Bapak. Aku tidak mau terkalahkan oleh kerasnya dunia
hingga berakhir mengenaskan seperti ini” aku memandangnya remeh. Maafkan aku
Tuhan, aku hanya tidak mau dijatuhkan oleh seorang pengemis lengkap dengan
gelar pembohongnya ini.
Raut muka lawan bicaraku ini seperti
menahan emosi. Namun segera berganti dengan raut datar dan kembali menanggapi
ucapanku. “Seberapa keraspun kamu berusaha tetap akan kalah dengan mereka yang
beruntung. Jadi, jangan terlalu berambisi,yang ada hanya lelah yang kamu dapat”
“Memang benar, yang berusaha akan kalah
dengan yang beruntung. Namun, tidak semua orang bisa mendapat keberuntungan
itu. Lagipula, keberuntungan tidak akan datang terus menerus. Jika kita terus
hanya mengharapkan keberuntungan maka kita akan kalah oleh orang yang
benar-benar berusaha keras.” Ujarku dengan masih memandang Bapak Tua itu.
Bapak tua itu tertegun mendengar jawabanku
kali ini. “Dan kali ini, Bapak sedang beruntung karena aku tidak akan
melaporkan Bapak ke Petugas Penertiban. Mungkin pertemuan denganku ini
kesempatan yang Tuhan berikan kepada Bapak, agar Bapak segera sadar. Dunia ini
memang keras, tetapi manusia diberi akal dan pikiran agar bisa menaklukannya”
aku tersenyum padanya setelah mengatakan itu.
Kemudian aku melangkah pergi
meninggalkannya sembari memasukkan uang receh ke dalam saku celanaku yang
sebenarnya akan aku berikan kepada pengemis itu.
Di pertengahan jalan, aku mendengar suara
seseorang memanggilku dari belakang.
"Heyyy nak!"
"Tunggu, nak!"
Ku lihat seorang laki-laki mengejarku
sembari melambaikan tangannya. Kemudian aku berhenti, dan tak ku sangka
ternyata pengemis tadi yang memanggilku.
"Nak, maafkan aku telah berbicara
tidak baik terhadapmu. Aku mengakui, apa yang kamu sampaikan kepadaku adalah
suatu kebenaran bahwa kita sebagai manusia yang diberi akal pikiran harus terus
berusaha keras dalam mencari pekerjaan yang baik dan halal. Kamu adalah
perantaraku nak, sehingga aku sadar dengan apa yang aku lakukan selama
ini." Ujar pengemis sembari menangis dan memelukku dengan erat.
"Pak, sudah tidak usah mengeluarkan
air mata. Kita sebagai manusia, harus saling mengingatkan dalam hal kebaikan.
Bapak harus terus semangat dalam menjalankan kehidupan, karena hidup di dunia
ini hanya sekali, manfaatkanlah waktu ini dengan baik selagi kita masih hidup.
Jangan membiarkan hidup kita tidak bisa bermanfaat bagi orang lain."
Karya : Amalia Rizqi Fadilah (MG1301) dan Wilda
Fadhila Tsani (MG1355)