foto: checkmate_chess

Tepatnya di Jakarta, ada sebuah perkampungan kumuh. Di dekatnya berdiri sebuah rumah yang cukup kontras dengan keberadaan perkampungan itu. Rumah yang cukup megah itu memang sedikit tersisih dari bangunan di sekitarnya oleh sepetak tanah yang ditumbuhi ilalang.

Pak Joni namanya. Pria tambun yang selalu disegani warga sekitar dengan tiga cincin akik pada jemarinya serta kumisnya yang dibiarkan lebat sungguh menambah wibawa beliau. Memang tak pintar pria ini. Pendidikannya saja hanya sampai SMP. Lalu saat menginjak bangku kelas satu SMA, beliau nekat putus sekolah hingga ayahnya menyumpahinya sebagai anak durhaka. Namun justru karena kenekatannya itu, pak joni yang mencoba menyelam dalam kegiatan wirausaha dan mengalami jatuh bangun beberapa kali itu sekarag dapat hidup mapan dengan membuahkan perusahaan rokok tembakau yang saat ini produknya tak jarang mengisi etalase di seluruh nusantara.

Suatu hari Pak Joni tengah berkumpul dengan Si Agil, anak keduanya yang masih kelas lima di teras belakang rumahnya. Beliau memang tengah libur di akhir pekan, begitu pula Si Agil.

Sebelum bercakap-cakap, Pak Joni tak pernah lupa menyiapkan satu hingga tiga batang rokok dan menyulutnya sampai terbentuk kepulan asap. Dan tak jarang pula, kedua anaknyalah yang terpaksa kebagian batuk-batuk akibat menghirup asap rokok yang memang tak sedap itu. Maka dari itu istrinya kerap kali mengomeli kebiasaannya.

"Gil," panggil Pak Joni, "hari ini tanggal berapa?"

"13 Agustus, Be," jawab bocah itu polos. "Emang kenapa, Be?"

Pak Joni diam sejenak sembari menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Tanggal 17 besok adek libur, dong?" pria itu kembali diam, namun kali ini tangannya mengambil sepotong tempe yang memang sengaja disiapkan istrinya dan melahap setengahnya.

"Mau jalan-jalan? Mumpung libur,"

"Tapi aku upacara, Be," ujarnya, cemberut. "Capek, panas-panas upacara. Padahal kan, adek harusnya libur."

"Hus, nggak boleh gitu," Bu Dedeh, istri Pak Joni ikut nimbrung. Di tangannya, dua cangkir teh masih tampak menyisakan kepulan uap.

"Adek tahu, tanggal 17 Agustus itu hari apa?" Pak Joni mencoba mengetes si ragil.

"Hut kemerdekaan Indonesia, dong, Be," jawab bocah itu cepat.

"Itu adek tau. Seharusnya adek bersyukur pada hari itu, bahwa NKRI sudah merdeka," timpal Bu Dedeh.

"Bener kata ibu. Dulu kemerdekaan kita direbut oleh penjajah," kata pria itu, tak ubahnya dengan pendongeng macam Kak Seto. "Makanya, kita perlu menyukuri apa yang sudah susah payah nenek moyang kita rebutkan! Coba adek lihat, Bung Tomo di Surabaya sangat semangat dalam mempertahankan kemerdekaan. Masak, adek cuma upacara aja masih pake nawar-nawar, sih?"

 "Itu namanya bukan generasi emas, tapi generasi lembek. Sukanya manja. Adek nggak boleh seperti itu," tandasnya. Kemudian iapun tenggelam di balik uap teh mawar  yang  selalu digemarinya.

"Gitu ya, Be. Kata Bu Sekar, guruku, kita juga harus menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam diri kita, Be," jelas bocah itu dengan semangat.

"Jelas, dong. Makanya, kamu sebagai generasi penerus bangsa kudu menjaga Indonesia sebaik mungkin supaya kelak kalian bisa menyejahterakan negara," lanjut Pak Joni, senyumnya kian mengembang.

"Anak pintar," Bu Dedeh mengusap ujung kepala Agil dengan penuh rasa bangga.

"Begitu, ya, Be?" Agil manggut-manggut. "Terus kenapa Babe masih jualan rokok? Rokok kan bisa bikin orang-orang sakit. Bukannya itu sama saja bikin susah negara?" tambahnya polos.

“Eh, itu¾,” Pak Joni dan Bu Dedeh melongo, kehabisan kata-kata. Senyum yang terpampang di wajah mereka pun berganti dengan senyum getir.

Skakmat.

Karya: Luthfi Dinda Shafia  (MG1238), Hanuun Ridhakusuma (MG1225)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama