foto: pinterest.com

Ia pergi, membawa duri, tanpa menyanding kata selamat tinggal. Sesal sudah yang terisi dalam rongga-rongga dada sejoli yang terenggut mimpi ini. Tentang peri-peri yang kan berteman di setiap fajar dan senja yang setia mengisi.

Lelah. Apakah satu kata itu cukup menyangga derita? Tidak, Fajar.

Namun gadis itu, Senja, tak berpaling, berpangku pada sosok yang tinggal bayangan bias. Belenggunya terlalu sulit kandas untuk ribuan ombak nafsu yang menerjangnya. Hatinya batu, buah kekecewaan.

Sudah, ia tak ingin dengar satu kata lagi selayaknya alasan. Ia cukup dengan satu kata, bukan lebih. Ia bukan gadis penebar janji.

Dan dengan satu kata itu, akankah lembarannya usai?

***

Mentari bermetamorfosis berwujud candra keemasan. Fajar dan Senja duduk di beranda, menghitung bintang dan mengaitkan belasan rasi di sana. Hanya berhadapan berdua, diselingi petikan gitar yang dibawa lelaki itu dari rumahnya.

“Aku membenci fajar,” Fajar berceletuk, melebihi gumaman setelah sebuah melodi ia mainkan tanpa cacat. Senyumnya kecut, bukan untuk membebani. Ia hanya ingin sembunyi dari memori hitam.

“Mengapa?” gadis itu menodong alasan. “Namamu bagus.”

“Bukan,” lelaki itu mengoreksi. Pandangannya menerawang, seperti menuntut kasih yang lebih. “Aku tak suka hal baru.”

“Oh ya?” senyum Senja sedikit miring. Ia masih tak paham apa yang diuraikan lelaki itu.

“Fajar, berarti hari berganti baru. Ada sesuatu yang pastinya baru juga,” sambungnya. Ia melontarkan seulas senyum, manis dan menenangkan.

Kemudian hening bermain di antara kedunya, sampai Senja membuka suara.

“Aku juga benci senja,” lontar gadis itu. “Karena aku takut.”

Kini kening Fajar yang berkerut bingung. “Apa yang kamu takutkan?”

“Sesuatu yang kan berakhir,” pelan namun pasti, kalimat itu mengabadikan sebuah kenangan pahit pada maniknya. “Karena esok tak kan selalu sama.”

“Sebegitu sakitnya kah?”

“Ya,” Senja membalas mantap. “Terlalu perih untuk dikubur atau dilupakan.”

***

Mustahil membalikkan mentari ke peraduannya, kala itu. Fajar mengulurkan tangannya, menembus kerlip pertokoan. Hanya berdua dengan Senja. Sekolah telah usai lebih awal, dan Fajar telah merencanakan hal yang terlalu gila bagi gadis itu.

Dengan masih mengenakan seragam sekolah, ia menunutun sabar gadis itu, berganti bus dua kali hingga kota berganti menjadi karpet putih.

“Kamu bawa aku ke pantai?” gadis itu masih tak mengerti maksud kedatangannya saat itu.

“Aku ingin kau tahu, bahwa senja itu indah,” ucap lelaki itu tulus. Senja ingin menolaknya, namun tak ada kuasa. Hanya harap dan doa yang mengiringi setiap langkahnya menuju pasir putih yang katanya mengandung romantik.

“Tunggulah,” katanya. Tangannya mengulurkan sekaleng minuman setelah gadis itu duduk di bayang-bayang palem.

“Bukan hari ini, Jar,” gadis itu menegaskan. Ia ingin bergegas pulang tanpa menyandang kekhawatiran. Dirinya telah memucat, bahkan terlalu lemah untuk sekedar melihat rupa Fajar yang bercorak serupa.

“Kesempatan tak datang dua kali, Senja,” lelaki itu tersenyum, menenangkan. Kemudian beranjak pergi. Ia pamit sejenak.

Masa bergulir melewati menit-menit yang begitu menyiksa. Kapan kau datang, senja? Terlalu banyak pahit yang kukenyam ketika ujung-ujung mentari menyorotkan sinar jingganya. Dan diujung sana, air kehitaman itu memantulkan gemerlap kelabu yang cantik.

Inikah keindahan yang akan kau pamerkan? Kini Senja tak akan menyangkalnya. Ia mulai dapat membuka hatinya untuk sebuah sinar senja. Tidak, bukan perpisahan yang memaknai kata itu baginya, namun kasih sayang yang lembut.

Namun hingga sinar bagaskara termakan hitam dan tinggal kejora di sana, berdiri gagah bersama sebuah purnama, sosok lelaki itu raib.

Kau di mana, Fajar?

Kini mata Senja menerawang, inikah yang kau sebut kenangan indah? Akankah Fajar mengijinkan gadis itu kembali mencicipi buah kekecewaan dan kebisuan duka?

“Kau tahu? Andai kau ada, akan kupamerkan sebuah sinar baru, Fajar,” pinta Senja. Namun angin malam hanya menjawab dalam keheningan.

Tubuh mungil gadis itu bergetar, pecah oleh tangis yang terlalu pilu untuk didengarkan.

“Senja, mengapa kau menangis?”

Ah, suara itu, batin Senja. Dan gadis itu mau tak mau mendongak. Jemarinya menyeka gulir mutiara yang sempat tercipta.

“Kenapa kamu lama sekali?” todongnya langsung. Matanya memancarkan amarah. Namun ia tak tega dan berganti memelas.

“Maaf,” ia tersenyum pahit. Terlalu pahit, hingga gadis itu kembali menciptakan anak sungai di kedua pipinya. Ia tak rela delusi itu berlalu.

“Jangan pergi,” ungkapnya di sela-sela tangis.

Lelaki itu menatap iba, membuahkan rasa bersalah yang menyesakkan di hati Senja.

“Kamu tahu, hal terindah di hidupku adalah mencintai hal yang kutakutakan,” seru Senja. “Dan kamu lah yang mengukir kebahagiaan itu.”

“Maaf,” ulangnya, iba. Ah, kata itu lagi. Gadis itu cukup muak mendengar permintaan maaf Fajar. Seperti tak cukup satu kata saja.

“Kenapa kamu tidak bilang selamat tinggal?” kejar gadis itu, tangisnya makin keras ketika angin malam semakin menjeratnya.

Lelaki itu bungkam. Kemudian menggeleng sebagai jawaban.

“Kenapa harus maaf?”

Sekali lagi, lelaki itu bungkam, meninggalkan napas gadis itu yang semakin tak teratur. Ia sedih, namun raganya tak mampu bertindak.

“Kamu tahu, sesuatu hal yang baru sama-sama menyakitkan dengan perpisahan, karena hal itu memiliki keterkaitan,” kata gadis itu setelah beberapa detik terdiam. “Tapi kamu harus tahu, aku telah belajar mencintainya.”

Ia tahu, kata-katanya hanya berbalas bisu angin malam. Namun pesannya harus sampai pada seorang Fajar yang menjadi sosok istimewa di relung hatinya, bukan sosok delusi yang hanya berucap maaf karena termakan rasa bersalah.

“Dan tahukah kamu, senja itu mengajarkan untuk merelakan sebuah perpisahan. Sedangkan fajar memberi ruang untuk seorang yang jemu akan kehampaan,” bisiknya lagi, kemudian berlalu untuk menapaki tangga baru yang akan menyangganya dengan lebih kokoh.

Mungkin kisah antara dirinya dengan Fajar telah usai. Namun yang diyakininya, bahwa esok akan ada sosok lain yang mampu memberikan sebuah memori indah akan tawa dan lara yang menjadi instrumen kehidupan setiap insan.

***

Fajar dan Senja, berdampingan untuk menerjang tembok ketakutan akan dua hal yang terangkai dalam roda-roda memori. Karena senja dan fajar adalah suatu hal yang memiliki benang merah. Dan mereka belajar untuk menerimanya dan mencintainya.

Karya: Luthfi Dinda Shafia  (MG1238), Hanuun Ridhakusuma (MG1225)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama