DI ATAS KUBANGAN DARAH, ADA MIMPI YANG TERCURAH
Oleh: qa
Dentum meriam menggelegar mewarnai gegap gempita langit Jakarta. Pekatnya asap yang membumbung tinggi mengingatkanku pada suatu peristiwa. Kala itu aku masih muda belia. Juga masih mengenakan jas alamamater kuning kebanggaanku. Tubuhku masih ideal, ringan untuk ku bawa berlari kesana-kemari. Masa itu adalah masa dimana aku merasa diriku masih hidup, peranku begitu dibutuhkan, jiwa ragaku seperti dipanggil untuk menegakkan suara-suara kebenaran di negeri ini. Parasku yang tergolong standar dengan kulit sawo matang membuatku tak takut terpapar sinar matahari seperti gadis-gadis cantik pada umunya. Beruntung aku dianugerahi bakat pembangkang oleh Tuhan, sehingga aku bisa dengan bangga menjadi orator ulung saat itu. Sudah dua puluh satu kali ku ikuti seremonial kemerdekaan selepas peristiwa itu berlalu. Tapi belum banyak kurasakan perubahan di negeri ini. Malah rasanya beberapa generasi seperti ingin menghancurkan apa yang sudah dibangun dengan cucuran keringat dan tetesan darah oleh generasi-generasi sebelumnya. Ada guliran pilu yang mulai merambat ketika kuingat potongan-potongan peristiwa di masa itu. Tahun 1998 adalah masa dimana terjadi gebrakan-gebrakan besar dihidupku. Masa awal dimana aku harus menyusun kembali kebahagiaanku sendiri setelah aku kehilangan satu-persatu orang-orang yang kusayang. Hingga saat ini aku belum bisa berhenti menitikkan air mata. Rasa haru dan pilu bercampur menjadi satu, membentuk suatu rasa yang tak terbendung untuk ditumpahkan bersama air mata, entah rasa apa itu namanya. Kini bulir air mata itu tak lagi tertahan, melewati guratan-guratan garis diwajahku yang mulai mengisut, tak mulus lagi seperti dahulu. Apalagi ketika lagu-lagu nasioanal dikumamdangkan, betapa kuingat saat itu aku pernah menyanyikan lagu-lagu ini dengan penuh emosi, juga berorasi dengan nada provokasi. Meski sekarang aku di sini, menjadi tamu kehormatan di acara kenegaraan, namun rasa sakit itu belum juga terhapuskan. Ada harga mahal yang harus dibayarkan untuk membeli suatu kebahagaiaan.
***
Aku, Mama, dan Papa masih dengan rutinitas yang sama pagi itu. Berkumpul di meja makan untuk sarapan sebelum memulai aktivitas setiap hari. Aku sarapan dengan terburu-buru. Tak peduli selezat apapun nasi goreng ikan asin masakan Mama. Papa sampai menegurku untuk berhati-hati agar tak tersedak dari balik koran paginya. Aku yang ditegur Papa hanya mampu menyengir kuda sambil menandaskan segelas susu hangat. Tak biasanya Papa masih sarapan dengan santai sesiang ini.
“Pa, Kok belum siap berangkat? Papa libur?”
“Lohh, memang kamu nggak tahu? Seluruh kampus di Jakarta sudah dihimbau untuk libur hari ini. Akibat kerusuhan kemarin itu pemerintah langsung mengirim surat edaran ke seluruh kampus supaya meliburkan seluruh kegiatan, di khawatirkan akan terjadi kerusuhan lanjutan dan memakan banyak korban.”
Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Papa. Sebenarnya aku tahu hal ini, namun  pura-pura tak tahu, atau bahkan tak mau tahu. Aku juga tak ingin kalau sampai Papa dan Mama tahu jika aku terlibat dalam kerusuhan kemarin. Bahkan bisa dibilang aku adalah salah satu provokator di sana. Jika mereka tahu pasti mereka bersi keras melarangku untuk berangkat. Padahal di luar sana teman-temanku sudah menunggu. Berkerumun dan siap dikomando, tak hanya sewarna jas yang kami pakai, namun berwarna-warni dari kuning, biru, hingga hijau yang menunjukkan bahwa kami berasal dari berbagai kalangan dan siap menghimpun kekuatan dalam satu pukulan. Aku berpamitan hendak mengerjakan tugas di indekos temanku, Papa dan Mama percaya saja, mereka berpesan agar jangan pulang larut malam. Mudah saja ternyata membohongi mereka. Dalam hati aku meminta maaf, namun aku tak berani mengutarakannya.
Rumahku masih dekat dengan kampus. Malah bisa dikatakan masih satu area karena Papa memanfaatkan fasilitas rumah dinas yang diberikan sebagai tenaga pendidik. Sebagai birokrat kampus harusnya Papa tidak tinggal diam dengan adanya kerusuhan seperti saat ini. Aku agak kecewa sebenarnya dengan sikap Papa. Tetapi karena enggan rahasiaku mengikuti orasi terbongkar, maka aku memilih untuk tak berkomentar.
Aku melangkah mantap dengan jas alamamater yang kusimpan di ranselku, berikut kelengkapan orasi lain seperti air minum dan handuk kecil untuk lap keringat. Sebagai pemimpin orasi, aku diberi satu walkie talkie oleh rekanku. Di situ aku akan saling terhubung dengan 5 temanku dari universitas yang sama denganku. Rambutku ku kucir kuda agar praktis dan tak gerah. Tak lupa ku kenakan sepatu kets hitamku agar tak terlihat buluk walau terinjak-injak nantinya. Sebenarnya aku lebih suka memakai flatshoes atau stiletto dalam keadaan normal, namun kurasa keduanya terlalu abnormal untuk kukenakan saat ini. Aku langsung menuju titik di mana kami sudah berjanji sebelumnya untuk berkumpul. Kami bersama-sama menuju lokasi tempat kami berorasi. Aku lega ternyata banyak juga mahasiswa yang mau bergabung dengan kami. Kami menyusuri jalan dengan bernyanyi lagu-lagu nasional untuk menyulut semangat. Aku berorasi dengan berapi-api di depan ribuan mahasiswa dari berbagai daerah. Massa yang berdatangan jauh lebih banyak dari ekspektasiku. Kami bersatu, menghimpun kekuatan. Terus maju tak gentar memerangi banyakanya penyimpangan di negeri ini.
Hari semakin terik namun semangat kami tak sedikitpun menguap. Massa terus bertambah. Tak hanya dari golongan mahasiswa, namun wartawan juga turut datang meliput aksi kami. Aksi menuntut keadilan yang terus kami kumandangangkan dengan suara parau lagi sumbang. Pihak keamanan terus menambah personilnya seiring suasana yang makin memanas karena masa yang emosi akibat keinginannya belum juga terpenuhi. Massa mulai anarkis dan tetap bertahan. Aparat yang sudah mulai kewalahan menghalau kami mulai memukul mundur pasukan kami. Mereka mendorong barisan sambil berlindung dibalik tameng. Bahh pengecut sekali! Segala benda yang mungkin untuk menyerang serta merta kami lemparkan seperti batu dan pecahan pecahan kaca dari fasilitas-fasilitas yang berhasil kami rusak. Aparat tak mau kalah dengan menyemprotkan bertangki-tangki gas air mata yang cukup membuat masa kocar-kacir. Namun beberapa saat kemudian masa kembali berkumpul. Rupanya semua sudah mengantisipasi dengan cara cuci muka menggunakan air mineral yang mereka bawa. Massa dan aparat masih sama kuatanya, padahal hari sudah menunjukkan pukul satu siang. Terdengar suara tembakan yang dilayangkan tiga kali ke langit sebagai peringatan. Suasana makin rusuh karena massa tak juga mundur. Hingga keamanan dari udara terpaksa dikerahakan oleh aparat. Bentrokan kembali memanas hingga terdengar suara-suara letusan saat biji timah panas diluncurkan. Rauangan demi raungan terdengar. Darah bercucuran di sana-sini. Banyak dari kami yang pingsan akibat kelelahan. Massa langsung lari tunggang langgang. Beberapa mayat terkapar di jalanan. Korban yang luka-luka di gotong menuju kampusku untuk mendapat pertolongan. Relawan berdatangan, bahkan tak sedikit dari rekan wartawan yang ikut membantu evakuasi korban.
Aku kebingungan mencari rekan-rekanku. Walki talkieku jatuh entah kemana. Beberapa dari kami bahkan sempat melihat ada titik merah yang bergerak seperti sinar laser untuk membidik beberapa orang sebelum akhirnya mereka menjadi sasaran penembakan. Beberapa orang yang melewatiku menyuruhku untuk berhati-hati. Wajahku sudah terekspos di berbagai media sehingga mudah untuk mereka mengenali wajahku. Sebagai provokator tentu nyawaku akan terancam. Siang itu serangan masih saja membabi buta. Massa tidak terima karena rekan mereka menjadi korban, bahkan ada yang harus meregang nyawa karena membela kebenaran. Beberapa dari kami bahkan ditangkap. Aku termasuk dalam salah satu incaran mereka. Tubuhku yang mulai lemas dan terhuyung tak mampu lagi berlari mencari perlindungan. Aku tersungkur di aspal jalanan yang panasnya bukan main. Belum sempat aku berdiri seseorang sudah memukul kepalaku dengan benda keras seperti logam. Ku kira itu laras panjang. Darah segar mengucur dari pelipisku. Sial! Tak puas sampai disitu, tubuhku di injak hingga tulang belikatku serasa remuk. Tak ada pilihan lain selain menjadi pengecut untuk sementara waktu, tohh tubuhku tak mampu lagi untuk berlari. Akhirnya aku memilih untuk berpura-pura mati. Satu benturan keras kuterima lagi di tengkukku. Aku menangis, hatiku memanas bersama tubuh yang terpanggang aspal. Aku beringsut setelah suasana agak sepi, tiba-tiba sebuah tangan besar menarikku dan menyeretku menuju sebuah mobil. Rupanya mobil evakuasi. Tapi ia tak tampak seperti relawan. Ia memakai rompi dan topi yang menutup sebagian wajahnya. Tunggu! Wajahnya tak mirip orang Melayu. Malah mirip ke Eropa. Baik sekali Tuhan melimpahkan nikmat berupa wajah setampan itu untuknya.
“Pelipismu berdarah, harus segera diobati. Kulihat juga tubuhmu diinjak tadi. Biar ku obati lukamu.”
“Jadi kamu tim medis?”
“Ohh bukan, Namaku Smith, aku wartawan. Siapa namamu, Nona kecil pemberani?”
“Namaku Fay” jawabku yang masih ternganga menikmati ketampanan dan kefasihannya berbahasa Indonesia. Yang kulihat rupanya tak nyaman. Ia langsung mengalihkan topik dan berkata “Sebaiknya kau lepas saja jaketmu, mereka meburu siapapun yang berjaket sama denganmu, apalagi wajahmu sudah tersorot di berbagai media, bahaya untuk keselamatanmu. Lepas jaketmu dan pakailah rompiku, setidaknya mereka tak memburu wartawan.”
Aku menuruti perkataannya. Kulepas jas kebangganku. Ada noda darah di sana. Lebih mengerikan lagi ada tapak sepatu yang berukuran luar biasa besar tepat di bagian pundakku. Aku hanya meringis mengingat ngilu dan perih yang tadi kurasa. Smith mengusap puncak kepalaku dan memberiku sapu tangannya untuk menutup luka di pelipisku. Aku tak yakin dengan kesterilannya namun kebaikan Smith patut diapresiasi.
“Mari kuantar pulang” kata Smith lembut.
“Ahh tak usah repot-repot. Rumahku disekitar sini. Tak ada 15 menit.”
“Membiarkan seorang gadis manis terluka pulang sendirian, bukanlah perilaku pria yang baik.”
Aku tersemyum simpul mendengar kaliamt itu. Benar saja Smith mengantarku pulang dengan motor CB nya. Aku mempersilakan Smith masuk sementara Mama sudah berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang. Mama memasang muka manis untuk Smith namun tidak untukku. Smith menjelaskan semua kejadian naas yang menimpaku lalu segera pamit karena sudah larut malam. Mama berterima kasih pada Smith, lalu langsung memarahiku habis-habisan setelah Smith pulang. Aku tak mendengarkan ocehan Mama dan langsung masuk ke kamar untuk mandi dan istirahat. Aku sama sekali tak bernafsu makan malam itu. Kurasa kasur jauh lebih menarik. Terkadang Mama memang keterlaluan menyebalkannya.
Aku mendengar raungan tangis yang cukup keras. Niatku untuk membekap wajah dengan bantal urung setelah mengetahui bahwa itu suara Mama. Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan membuka pintu sambil mencari-cari Mama dengan pandanganku. Aku melihat Mama meringkuk sambil memegang gagang telepon. Mama berkata tidak jelas sambil menagis. Yang kudenagr ada 2 kata yang cukup mewakili semuanya yakni Papa dan meninggal. Aku tak percaya, ku peluk Mama sambil meyakinkan diri bahwa Mama hanya bercanda. Ini hanya tipuan Mama agar aku tak berbohong, tak membangkang dan menuruti semua perkataannya. Namun sayangnya tak ku temukan kebohongan di mata Mama.
Keesokan harinya selepas  pemakaman Papa, stasiun televisi dipenuhi oleh berita mundurnya presiden kita kala itu. Gegap gempita dan sorak sorai rakyat mewarnai tanah air. Semua yang telah diperjuangkan ternyata tak sia-sia, termasuk kematian rekan-rekanku dan Papa. Menurut informasi yang kuterima, Papa meninggal karena sebuah tembakan yang melesatkan timah panas di jantungnya, Aku tak bisa membayangkan betapa sakitnya yang Papa rasakan saat itu. Jauh lebih sakit dari perihnya dipukul, diinjak dan terpanggang di aspal kemarin tentunya. Sebenarnya niat awal Papa pergi malam itu adalah untuk mencariku yang tak kunjung pulang sementara wajahku terus menjadi sorotan di televisi. Papa yang khawatir langsung mencariku ke kampus, namun yang dilihat Papa jauh lebih memprihatinkan. Di kampus, Papa justru bertemu dengan rekan-rekannya dan berupaya bagaimana untuk meredam suasana ini. Namun rupanya nasib naas menimpa Papa, beberapa orang melihat bahwa ada titik merah beberapa saat di tubuh Papa sebelum peluru tembakan itu di luncurkan. Sama persis seperti yang kulihat siang itu. Tak ada lagi yang mampu ku lakukan selain mendoakan Papa sekarang. Semoga apa yang telah Papa dan rekan-rekanku korbankan ini tak menjadi suatu yang sia-sia nantinya karena ada harga yang sangat mahal untuk menebus sebuah kesalahan dan membeli sebuah kebahagiaan. Tak cukup berliter-liter darah dan keringat untuk mengganti milik mereka yang tertumpah ruah di atas tanah kita tercinta demi kesejahteraan bangsa.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama