ADA APA DENGAN SPI ?
Kunto
Megantoro
SPI merupakan
singkatan dari Sumbangan Pembangunan Institusi, yang pemberlakuannya bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seperti meningkatkan aktivitas
akademik mahasiswa. Contohnya ialah ketika mengikuti perlombaan, melakukan studi banding maupun
kunjungan kerja, memperbanyak jumlah penelitian, pembangunan gedung, serta
pemeliharaan fasilitas kampus seperti gedung perkuliahan dan laboratorium
Pemberlakuan SPI ini di satu sisi yang lain memberatkan mahasiswa baru yang akan
masuk PTN. SPI tentu sangat berbeda dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Jika UKT dibayarkan setiap semester, maka SPI hanya dibayar satu kali ketika masuk ke sebuah perguruan
tinggi. SPI itu lebih banyak diperuntukan
kepada mahasiswa baru yang melalui jalur mandiri tergantung dari kebiajkan
kampus, kemudian besaran dana SPI yang dipungut
antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi yang lain memang berbeda
karena kondisi dan kebutuhan setiap PTN juga berbeda. Menurut Kebijakan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) menetapkan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 22 Tahun 2015
tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal, terutama pasal 9 yang
mengatur bahwa PTN dapat memungut pungutan lain selain Uang Kuliah Tunggal
(UKT). Perguruan-perguruan tinggi negeri seperti di Unsoed, Unnes maupun
universitas lainnya sudah menerapkan pemberlakuan SPI ini. Universitas Tidar
(Untidar) sendiri mulai menetapkan SPI bagi mahasiwa baru pada angkatan 2016.
Entah apa yang ada di benak
pemerintah sehingga memunculkan sebuah kebijakan yang makin menambah beban para
mahasiswa. Di zaman modern yang semakin maju di mana semakin tinggi pendidikan
yang dimiliki seseorang, maka semakin besar wawasan, pengalaman, dan pengetahuan yang
diperoleh. Kemampuan-kemampuan seperti inilah
yang banyak diinginkan atau menjadi syarat utama dalam perekrutan sebuah
perusahaan. Pertanyaannya, lalu bagaimana jika pemerintah semakin
mempersulit mahasiswa untuk menempuh sebuah pendidikan? Pendidikan merupakan fondasi bagi kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan
dapat dikatakan sebagai tolak ukur kemajuan sebuah bangsa, dan sebuah
inovasi tidak akan terjadi tanpa adanya para mahasiswa, yang memperoleh ilmu
melalui pendidikan.
Pemberlakuan
aturan pemungutan biaya selain UKT tersebut adalah salah satu imbas pengurangan
jatah dana pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam laporan APBN 2016, Kemenristekdikti mengalami penurunan pendapatan sebesar Rp.5,6 Triliun
apabila
dibandingkan dengan APBN perubahan yang bejumlah Rp.43,6 Triliun. Penurunan ini
akan berdampak luas, di antaranya pengurangan alokasi anggaran prioritas
pendidikan nasional. Disisi lain, pemerintah memprioritaskan program nawa cita
yang artinya pemerintah terus mendorong pertumbuhan insfrastruktur. Anggaran
difokuskan lebih banyak pada kementerian teknis pembangunan infrastruktur (tribunnews.com). Pemerintah hanya fokus
terhadap pembangunan infrastruktur untuk saat ini tanpa melihat sisi
kedepannya.
Pemerintah
tidak mampu melihat keuntungan yang dapat diperoleh jika biaya pendidikan tinggi
diringankan. Mereka seakan tidak mau melihat keuntungan yang diperoleh dalam jangka
waktu yang lama karena hanya memfokuskan
dalam satu sisi yaitu pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini terkesan hanya tampak kasat mata demi mendapatkan citra baik di dalam
masyarakat. Pemerintah hanya melihat sisi yang mana jika sisi itu menguntugkan,
maka pemerintah akan melakukannya. Bukankah sang bapak pendidikan nasional Ki
Hajar Dewantara berpesan bahwa dengan ilmu kita menuju kemuliaan dan bahkan seorang penulis terkenal dari Irlandia, Oscar Wilde yang dikenal akan kemampuan mengolah kata serta
penggunaan paradoks dalam karyanya, ia mengatakan bahwa "pendidikan merupakan
suatu hal yang mengagumkan.”