Sumber: Penulis (Restiana dan Alvina)
 

Sampah menjadi permasalahan yang tidak ada habisnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berakibat pada permasalah sampah yang berkembang menjadi isu penting bagi hampir seluruh daerah perkotaan. Hal ini disebabkan oleh jumlah produksi sampah yang berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Banyak kegiatan yang dapat menambah gunungan sampah, namun penanganan masih minim menjadi salah satu penyebab masalah tersebut. Terutama di wilayah kota, pembuangan sampah berlokasi di sekitar pemukiman warga, sehingga membatasi ruang gerak pemerintah dalam strategi pengelolaannya. Kondisi itu menambah catatan permasalahan sampah.

 

Dilansir dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 lalu, sampah tidak terkelola di Indonesia mencapai 6,388,400.26 ton. Data tersebut sudah termasuk atau terhitung dari 168 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Selain itu, SIPSN juga menyebut masih ada 19,321,897.86 ton timbulan sampah pada 2023. Walaupun data tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, penurunan masih belum dianggap sebagai kemajuan besar, sebab belum sepenuhnya mengatasi masalah sampah di Indonesia.

 

Salah satu wilayah di Indonesia yang masuk dalam kriteria darurat sampah ialah Kota Magelang. Selain karena ketiadaan program pengelolaan atau daur ulang yang digencarkan secara rutin oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok tertentu, permasalah sampah di Magelang juga dipengaruhi oleh kapasitas Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) yang semakin berkurang. Kondisi tersebut tentu menandakan bahwa hingga kini, keberadaan sampah di wilayah Kota Magelang masih menjadi permasalahan yang penangannya belum teratasi. Sampah-sampah di Kota Magelang dan sekitarnya ini ditampung di TPSA Banyuurip. TPSA Banyuurip merupakan tempat pemrosesan akhir sampah milik Pemerintah Kota Magelang (Pemkot) yang terletak di Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang.  TPSA Banyuurip memiliki luas 6,8 hektar, berdiri sejak 1993, dan masih beroperasi hingga saat ini pada pukul 07.00 - 14.00 WIB. TSPA tersebut menampung sampah dari kota dan kabupaten yang menjadi bagian dari wilayah Magelang. 

 

Kondisi TPSA Banyuurip dinilai masih  kurang memadai apabila digunakan sebagai tempat pembuangan sampah akhir. Sampah di TPSA Banyuurip hanya diterima, ditumpuk, lalu ditimbun dengan persentase yang tidak seimbang antara sampah masuk dan ditimbun. Sampah yang masuk memiliki persentase lebih besar daripada sampah ditimbun. Aldi, seorang admin Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Magelang ketika ditemui tim LPM Mata menyampaikan, “kedepannya akan ada pengelolaan sampah plastik tingkat lanjut (daur ulang), ada alat untuk mengolah plastik agar menjadi barang yang lebih bermanfaat”. 

 

Di sisi lain, terdapat permasalahan yang cukup menonjol dan sempat menjadi sorotan, yaitu permasalahan terkait kebersihan air yang bisa saja terpengaruh limbah sampah. Hal itu terlihat dari segi bau maupun kualitas air yang apabila dikonsumsi akan berpengaruh pada kesehatan. Meski begitu, permasalahan tersebut mengalami kebuntuan, sebab warga sekitar tidak melakukan protes dan lebih memilih pasrah. Hal itu menunjukkan fakta belum teratasinya permasalahan yang bersumber dari tumpukan sampah di TPSA Banyuurip dan menimbulkan kekhawatiran warga sekitar. 

 

Awalnya warga memang sempat mempertanyakan terkait kebersihan air, namun berdasarkan keterangan petugas air di daerah sekitar TPSA Banyuurip, air sama sekali tidak tercemar limbah sampah. Pernyataan tersebut didukung pula oleh ungkapan Aldi yang mengungkapkan bahwa pemerintah kota sudah menangani hal tersebut dengan keberadaan alat penyaringan air (filtrasi). “Ada pengolahan untuk air lindi (cairan dari air hujan di timbunan sampah) dari pemerintah” ujarnya.

 

Alat penyaringan air dirasa efektif dan efisien serta menjadi langkah dalam menjawab keluh kesah warga sekitar. Air yang sempat tercemar sampah, akan disaring melalui alat ini, kemudian dialirkan kembali. Aldi mengungkapkan bahwa pemerintah melakukan survei berkala terkait keberadaan air di lingkungan TPSA. Selain itu, pemerintah melalui DLH Kota Magelang terus mencari terobosan baru terkait penyaringan air. Hal tersebut dilakukan agar penyaringan dapat terus dilakukan secara maksimal. Meski demikian, sebenarnya permasalahan kebersihan air tidak hanya datang dari limbah sampah, melainkan juga masa umur pakai TPSA yang memang sudah banyak berkurang sebab kapasitas sampah yang ditampung semakin banyak.

 

Keluh kesah mengenai timbulnya bau dari proses penimbunan sampah yang makin parah di musim penghujan juga datang dari warga. Proses penimbunan sampah dengan campuran tanah yang dilakukan setiap hari, kerap kali menimbulkan bau tidak sedap. Mirisnya, bau yang dihasilkan bisa tercium hingga jalan utama terdekat yang merupakan jalan mobilisasi Magelang-Salatiga. Hal ini menjadi keluhan masyarakat umum, terutama para pengendara yang kerap melewati jalan sekitar.

 

Keadaan yang demikian, menumbuhkan kesadaran warga untuk menjalin kerjasama dengan DLH guna mengatasi masalah pengolahan sampah, agar sampah yang masuk tidak hanya diurai tetapi juga didaur ulang. Dari jumlah sampah masuk sekitar 60-80 ton per hari, maka daur ulang seharusnya sangat mungkin untuk dilakukan. Sayangnya, sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang lebih serius dari pihak TPSA Banyuurip.

 

Pemasalahan terkait lokasi strategis TPSA Banyuurip juga menjadi kendala berbagai penangan sampah. Hal tersebut disebabkan oleh lokasi TPSA Banyuurip yang berdampingan dengan permukiman warga, sudah tidak dapat diperluasi lagi. Oleh karena itu, solusi satu-satunya yang dapat diambil adalah penambahan fasilitas dan metode pengolahan sampah yang lebih ramah lingkungan, modern, dan inovatif.

 

Melihat dari sisi positif, keberadaan TPSA Banyuurip sebenarnya banyak membuka lapangan pekerjaan bagi para warga yang  memiliki mata pencarian sebagai pemulung atau pengangkut sampah. Dibawah naungan DLH, banyak pekerja kontrak yang menggantungkan hidupnya sebagai petugas kebersihan (pengangkut sampah) serta juru sampah.

 

Para pemulung, setiap hari memilah sampah yang masih memiliki nilai jual, seperti besi, botol bekas, dan sebagainya. Barang-barang tersebut kemudian dijual ke pengepul yang berada di daerah sekitar TPSA Banyuurip. Pemilihan sampah seharusnya menjadi tanggung jawab DLH, baik itu dengan memperkerjakan petugas tertentu maupun menggunakan teknologi. Namun, hal tersebut sepertinya belum terlalu disorot oleh DLH sebagai salah satu permasalahan yang menyebabkan timbunan sampah setiap hari tanpa tindakan lebih lanjut selain ditimbun dengan campuran tanah liat.

 

Hal tersebut diperparah dengan tanah liat yang tenyata dibeli dari pihak ketiga oleh pengelola TPSA. Tantu saja, hal ini menjadi pertimbangan alokasi dana yang hanya dipusatkan pada pembelian tanah untuk menimbun sampah daripada ketersediaan sarana dan prasarana TPSA Banyuurip.

 

Para pekerja setiap hari mengangkut sampah dari setiap daerah di Kota Magelang sesuai dengan arahan DLH.  Saat ditemui tim LPM mata, Munadi, salah satu pengangkut sampah, mengaku dapat mengangkut hingga 4 kwintal sampah dari wilayah yang menjadi tugasnya. “Saya hanya mengangkut satu kali sehari pakai tossa ini, kadang 3,5 kwintal kadang 4 kwintal, itu dari dua kampung,” ujarnya.

 

Walapun demikian, sebenarnya tanggung jawab untuk menangani sampah merupakan tugas semua lini masyarakat di Magelang. Hal itu tentu harus dibersamai dengan pengetahuan-pengetahuan yang bisa didapatkan warga dari berbagai macam sosialisasi sampah yang seharusnya banyak dilakukan oleh pemerintah maupun DLH. Mulai dari pengetahuan dan kesadaran kecil mengenai membuang sampah pada tempat sampah, dilanjutkan dengan memilahnya, kemudian mengelola atau mendaur ulang. Kesadaran kolektif dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah menjadi salah satu bentuk modal sosial untuk menciptakan budaya bersih.

 

Pengupayaan dan pelaksanaan kebijakan program kolaboratif dan persuasif antara pemerintah atau pemangku kepentingan dan masyarakat untuk pengelolaan sampah yang tepat, dapat dilakukan dengan mengedepankan prinsip kerja sama dan manfaat ekonomi dari sampah. Daur ulang maupun pemilahan sampah yang bernilai jual merupakan cara tepat namun masih harus dikembangkan. Kesadaran masyarakat akan hal tersebut menjadi dorongan utama akan peningkatan manfaat ekonomi sampah. Selain menciptakan budaya bersih, kesadaran akan sampah ini juga akan meringankan tugas pemerintah dalam pengelolaan sampah. Menilik kembali pada keberadaan sampah di TPSA Banyuurip yang belum dikelompokkan secara maksimal, mengindikasikan bahwa masyarakat pun belum sepenuhnya peduli pada permasalahan sampah. Ketidaktahuan masyarakat akan keterbatasan fasilitas penunjang pada tempat pengelolaan sampah akhir, membuatnya acuh akan sampah dan pengelolaannya.

 

Guna menciptakan kesadaran bagi masyarakat, Pemkot Magelang seharusnya lebih aktif mengadakan sosialisasi terkait pemilihan serta pengolahan sampah. Pemerintah dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait pentingnya pengelolaan sampah yang baik serta ramah lingkungan. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga harus memberikan contoh praktis terkait daur ulang sampah secara mandiri di rumah masing-masing. Program sederhana seperti pengelolaan sampah menjadi kompos serta gerakan Reduce, Reuse, Recycle (3R) seringkali masih diabaikan oleh masyarakat. Menjadi celah, pemerintah dapat membangkitkan program sederhana ini melalui sosialisasi-sosialisasi yang lebih digencarkan. Kegiatan tersebut selain dapat menangani sampah, juga meringankan tugas pemerintah khususnya DLH yang menaungi masalah pembuangan sampah. Mengurangi sedikit dari jumlah sampah yang biasa masuk pada TPSA, hal itu juga akan menciptakan pengelompokkan sampah dengan sendirinya. Penanganan sampah akhir pun akan lebih efektif dan efisien.



Penulis: Restiana Setia Ningrum & Alvina Regita Maharani

Editor: Citrawati Nur Feby Dinata

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama