Sumber: www.inews.id

Malam hari yang mendung dengan sedikit kilatan petir mulai menyelimuti langit, sampai – sampai sinar bintang maupun bulan tak mencapai bumi. Di jalan sana terlihat antek – antek berpakaian bak tentara datang dengan jumlah yang bisa dikatakan sangat banyak. Mereka datang dibawa oleh truk – truk yang berwarna hampir senada dengan warna pakaian yang mereka pakai, yakni biru keunguan. Terlihat juga di bagian truk terakhir terdapat berbagai botol – botol yang ukurannya sangat besar.

            Di sisi lain, sebuah desa yang cukup terpencil terasa damai karena penduduknya sedang menikmati waktu istirahat mereka. Terlihat tidak ada yang aneh dari apa yang ada di desa tersebut. Hanya desa dengan penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan pencari ikan serta dengan keyakinan yang bisa dikatakan minoritas di lingkup negeri mereka. Malam yang tenang di desa tersebut tiba – tiba terusik dengan bunyi – bunyian dari kentongan dan juga teriakan yang memberi tahu bahwa akan ada yang datang.

            Malam yang begitu tenang mulai gaduh dengan para penghuni rumah yang bangun dari tidurnya dan mulai mengemas barang yang menurut mereka berharga. Salah satunya adalah Ngupa, seorang ibu yang sedang mengemas barang berharga miliknya. Sembari menunggu suaminya yang tidak kunjung pulang berjaga di gerbang desa, dia membangunkan Enges, putra pertamanya yang berumur tujuh tahun. Selesai berkemas, dia langsung menggendong putra keduanya yang masih bayi lalu keluar rumah dengan barang bawaan yang sudah berjejer di depannya. Dengan sabar dia menunggu sang suami datang agar bisa pergi bersama. Terlihat banyak warga desa yang mulai berjalan meninggalkan desa, tetapi suami Ngupa belum juga kunjung kembali, rasa khawatir mulai mendera.

            Tidak selang lama dari Ngupa selesai berkemas, terlihat cahaya benderang di depan desa. Rasa khawatir semakin mendera, karena dia tahu bahwa cahaya itu adalah kobaran api yang menghanguskan rumah – rumah. Cahaya itu semakin membesar dan mendekati Ngupa juga kedua anaknya, terlihat juga warga yang mulai tergopoh – gopoh pergi meninggalkan desa. Apalagi saat orang dengan seragam mirip tentara itu datang dengan terus membombardir tembakan tanpa tentu arah. Hasil dari tembakan tersebut adalah darah yang tercecer dari mayat penduduk desa. Secara naluriah, warga terus berlari guna menghindar dan berlindung dari kompolatan mirip tentara tersebut. Begitu pula dengan Ngupa yang berlari keluar desa dengan pundak yang menggendong ransel, tangan kanannya memegangi Enges dan tangan kirinya yang mencoba menjaga putra keduanya yang terus menangis sedari tadi.

Ngupa terus berlari tak menentu arah, titik evakuasi tujuannya di sungai samping desa telah dijaga oleh para komplotan tersebut. Dengan masih menggandeng erat tangan Enges, Ngupa terus berlari menuju titik evakuasi lainnya yang masih terhubung dengan sungai di samping desanya. Hati sebenarnya tidak tega saat melihat raut ketakutan dan juga kelelahan dari Enges, tetapi apalah daya, dia harus pergi menghindari para komplotan yang sepertinya mencoba membantai orang – orang di desa. Dalam pelarian yang Ngupa lakukan tidaklah mudah, selain harus terus berlari, dia juga harus menjaga anaknya dari tembakan – tembakan yang terus melesat ke arahnya. Dapat didengar juga beberapa kali jeritan kesakitan di belakangnya akibat terkena tembakan tersebut.

            “DOR!” suara tembakan yang terasa dekat sekaligus memekakkan telinga terdengar. Ngupa terus berlari dengan tangan kanannya yang masih memegangi Enges, tetapi dia mulai memelankan larinya kala merasa tangan kanannya yang memberat seperti sedang menyeret sesuatu. Ngupa mencoba bertanya kepada Enges dengan nafas yang masih tersenggal – senggal, tetapi hanya suara tembakan dan juga deru nafas yang terdengar. Akhirnya dia berhenti berlari dan menengok apa yang terjadi dan mengapa tangan kanannya terasa berat, awal dia berpikir mungkin Enges lelah berlari. Namun, tangisnya pecah ketika melihat Enges yang telah diam dengan darah yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya, hatinya hancur merasa gagal dalam menjaga sang buah hati. Masih dengan tangis, Ngupa akhirnya memutuskan untuk menggendong Enges bersisihan dengan adiknya yang masih menangis.

            Pelarian Ngupa terus berlanjut walaupun dengan berat yang harus dia pikul. Rapalan doa bertubi – tubi telah dia ucapkan sepanjang jalan dia berlari, berharap Enges tetap hidup, mendapatkan tempat yang aman dan juga berkumpul dengan suaminya kembali. Hal itu merupakan hal yang Ngupa inginkan. Entah apa yang menjadi latar belakang akan kejadian ini, padahal dia dan juga penduduk desanya tidak pernah satu kali memberontak kepada yang berkuasa. Alasan apapun yang Ngupa pikirkan tidaklah bisa menjadi jawaban mengapa komplotan berseragam mirip tentara tersebut menyerang mereka, bahkan juga menyerang saudara jauh mereka. Tanpa terasa akhirnya pelarian Ngupa sampai pada tempat yang dia tuju, di sana terlihat beberapa perahu dan juga orang yang telah berkumpul. Lega rasanya saat Ngupa melihat hal tersebut, buru – buru dia mendekat dan meminta pertolongan untuk Enges. Dengan ini, harapan menuju tempat yang lebih baik semoga saja terwujud. Namun, di sisi lain para komplotan tersebut telah mendekat ke tempat Ngupa berada.

Karya: Abdurrahman dan Aprilia Utami

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama