Ilustrasi Rumah Tua Seram. (Sumber: www.pixabay.com)


      Di balik gerbang tua yang engselnya hampir lepas, tampak beberapa pemuda mengintip ke arah rumah yang sudah sepuluh tahun ini kosong dan tak terawat. Mereka saling berdesakan untuk bisa melihat bagian dalam dari halaman gedung tua itu, lebih tepatnya ke arah pohon mangga dengan buah yang banyak tetapi tak seorang pun tertarik mengambilnya

“Yang benar aja, kalian udah enggak waras mau mencuri mangga itu?” celetuk salah seorang dari mereka. 

“Diam Jen, lo penakut banget.” Jene pemuda berambut keriting yang lebih memilih diam dan berdiri di samping gerbang itu pun mengamati tingkah ketiga temannya yang rakus. 

     Mereka berempat adalah mahasiswa di salah satu universitas yang terletak tak jauh dari rumah tua ini. Keempatnya bernama Roni, si pemuda penuh rasa penasaran. Novan, si pemuda cerdik dengan kacamata yang selalu menghiasi wajah manisnya. Frans, si pemuda dingin dan bertemperamen kasar serta si kriting Jene yang tampaknya tidak tertarik dengan apa yang akan dilakukan ketiga temannya yang lain.

     “Ini kan rumah kosong, itu artinya kita enggak nyuri.” Novan meyakinkan teman–temannya atau lebih tepatnya meyakinkan dirinya sendiri. 

Namun, Jene masih tidak tertarik dengan bujukan Novan. Frans yang sedari tadi diam tiba–tiba membuka gerbang itu dengan mudah. Bunyi gerbang tua berkarat yang terbuka membuat bulu kuduk Jene semakin berdiri. Ketiga pemuda itu masuk ke dalam halaman rumah tua, tetapi Jene yang menolak ide konyol mereka, tetap keras kepala berdiri di dekat gerbang. Roni yang melihat Jene hanya diam dan tidak bergerak sedikit pun dari posisinya kembali mendekati Jene.

“Lo tuh penakut, naif banget percaya sama cerita omong kosong warga.” Roni menarik paksa kaus cokelat yang dikenakan Jene. Jene meronta untuk melepaskan tangan Roni yang menyeretnya paksa masuk ke rumah tua itu.

“Lo gila, gue bilang enggak mau kenapa masih maksa?!” Jene tidak senang dengan sikap Roni.

“Heh lo berdua!” Novan yang sudah memegang beberapa mangga menegur Roni dan Jene yang saling beradu mulut.

“Cepetan bantu ngumpulin manga nya, Frans udah susah–susah manjat,” ucap Novan sambal mendekap mangga–mangga itu. 

“Dasar penakut!” Roni meninggalkan Jene yang masih menatapnya dengan amarah.

“Jen, bantuin Frans sama Roni.” Novan menyuruh Jene yang berdiam diri, tetapi Jene tetap saja tidak bergerak dan tidak melakukan apa yang diperintah oleh Novan. 

     “Biarin aja si pecundang, dia naif banget percaya sama cerita horor warga.” Roni berkata dengan jengkel. 

“Gue enggak peduli lo bilang gue penakut, pecundang atau apapun, tapi kalau ada apa–apa gue enggak ikut campur!” Jene pergi meninggalkan rumah tua itu, Novan hanya bisa memandang kepergian Jene dan setelah itu kembali beralih menatap Frans yang menggidikkan bahu tak acuh. 

     Ketiga pemuda tersebut kemudian meninggalkan rumah tua dengan mangga di masing–masing tangan mereka. Namun, sebelum meninggalkan rumah, Frans merasakan ada yang menatap mereka dari dekat. Frans yang memang memiliki sikap tidak peduli langsung menyusul Novan dan Roni yang telah meninggalkan rumah tersebut terlebih dahulu.

     Mereka berempat pulang ke indekos dengan perasaan gembira dan wajah yang semringah. “Lumayan, mangga–mangga ini bisa jadi stok seminggu,” kata Frans. 

“Harusnya lo ikutan ambil mangga Jen, dasar penakut lo,” ejek Roni. 

Jene yang dari tadi tidak setuju dengan mereka lebih banyak diam dan tak acuh saja. “Terserah kalian, gue mau masuk kamar dulu, kalian memang aneh,” timpal Jene kesal.

“Eh, Novan mana? Bukannya dia balik duluan?” tanya Roni penasaran. 

“Iya udah masuk duluan, mau nyuci mangga katanya,” jawab Frans sambal berjalan masuk kedalam kamarnya. Roni mengangguk malas, lalu berjalan ke kamar nya.

     Novan yang sudah masuk terlebih dahulu langsung pergi ke belakang untuk mencuci mangga yang baru saja ia petik dari rumah tua itu. Saat sedang asik mencuci, Novan merasakan ada yang menyentuh pundaknya, ia menepis dengan menggoyangkan pundaknya. 

“Apaan sih Ron, gue lagi nyuci mangga. Taruh aja punya lo disitu, ntar gue cuciin,” sahut Novan kesal karena mengira itu Roni. Memang Roni yang biasanya mengacau dan sering mengganggunya. Lagi, ada yang menyentuh pundak Novan. Hal itu terus berulang beberapa kali, sampai ia merasa tak tahan lagi. Ia membalikkan tubuhnya, tetapi ia tak melihat siapapun. Novan mencoba mengamati lagi, tetapi memang tidak ada siapa pun. 

“Ah, perasaan gue aja kali ya,” kata Novan dalam hati dan melanjutkan kegiatan mencuci mangga nya.

    Di dalam kamar, Frans baru saja selesai mengganti pakaian dan meletakkan baju kotornya ke dalam keranjang khusus baju kotor di dekat ranjangnya. Namun, Frans tidak sadar jika keranjang itu bergerak sehingga pakaiannya tidak masuk ke dalam keranjang. Saat Frans membalikkan tubuh, ia melihat pakaiannya berserakan di lantai. 

“Kayanya tadi udah gue lempar ke dalam keranjang, kok di lantai?” Frans yang keheranan pun kembali memungut pakaiannya dan meletakkannya ke dalam keranjang dan tanpa Frans duga, keranjang itu bergeser menjauh. Frans terpaku, otaknya mencoba mencari alasan yang logis untuk menjelaskan apa yang baru saja ia lihat. 

“Ketendang kali,” kata Frans pada dirinya sendiri sembari menggidikkan bahu.

     Roni yang sedang duduk di ruang tengah asik memakan mangga yang baru saja dikupas oleh Novan. Matanya tak lepas dari arah ponsel di genggaman tangannya sambil sesekali tangannya mengambil potongan mangga di piring. Awalnya tidak ada yang aneh dengan kegiatannya, Roni juga sangat menikmati mangga segar yang sangat harum itu, tetapi tiba – tiba bau tak sedap seperti bau busuk menyerbak di ruang tengah. 

Roni yang mencium aroma busuk di dekatnya mengamati sekitar dan dengan kaget membuang potongan buah mangga busuk penuh belatung di tangannya. Ia melihat ke arah piring yang berada di meja dan betapa kagetnya dia saat melihat banyak belatung di atas potongan mangga busuk, secara tidak sadar, Roni membuang piring itu.

“Huekk!” Roni berusaha memuntahkan buah busuk yang baru saja ia makan. Dari ruangan sebelah kanan tampak Frans yang berjalan keluar dan menatap heran ke arah piring plastik berisi buah mangga yang kini berserakan mengotori lantai.

“Ron! Lo apa–apaan sih, kenapa semua buahnya lo buang di lantai?!” Frans yang langsung berlari dari pintu kamarnya pun berteriak kesal. Roni yang masih mencoba mengeluarkan isi perutnya berlari masuk ke dalam kamar mandi. 

“Tuh orang kenapa sih?” Frans menatap bingung kepergian Roni yang ingin muntah.

     Novan yang tadinya sedang asik mengupas mangga pun langsung menuju ke ruang tengah untuk melihat kegaduhan yang terjadi. Dia melihat lantai yang kotor dengan mangga yang baru saja ia kupas. 

“Loh? Kenapa nih? Kok mangganya dibuang?” ucap Novan terheran–heran.

“Noh, si Roni tiba–tiba buang semua mangganya dan sekarang lagi muntah–muntah tuh,” sahut Frans yang kemudian langsung mencari alat untuk membersihkan kekacauan yang dilakukan oleh temannya itu dan Novan yang melihatnya pun langsung membantu Frans. Setelah semua bersih, Roni yang terlihat pucat berjalan sempoyongan menuju ruang tengah.

“Lo sakit, Ron?” tanya Novan pada Roni, Frans terdiam melihat gelagat aneh kedua temannya.

     “Eh si Jene kemana? Kok enggak ada?” Novan keheranan mencari keberadaan Jene, pasalnya, Jene selalu menjadi orang nomor satu yang panik ketika teman–temannya itu jatuh sakit. Frans menggelengkan kepala, sedangkan Roni tidak mengatakan apapun. 

Frans pun berjalan mengecek kamar Jene, tetapi saat Frans akan membuka pintu kamar Jene, ia sekilas melihat sosok Jene berjalan menuju ke arah halaman belakang. Namun, tiba-tiba pintu kamar Jene terbuka dan Jene muncul dari balik pintu. Frans yang seakan melihat dua Jene pun membeku di tempat.

“Lo kenapa Frans?” tanya Jene heran, Frans mendadak merinding dengan wajah yang semakin pucat. 

     Di ruang tengah Novan dan Roni tiba–tiba berteriak kencang seperti orang ketakutan. Sesosok wanita tanpa wajah menggantung di langit-langit ruang tengah, wanita itu berbisik “Kembalikan apa yang telah kalian ambil!” Novan dan Roni yang ketakutan pun berlari ke arah kamar Jene untuk meminta pertolongan.

“Kalian ini kenapa sih kok pada pucet gitu?” Jene menyilangkan kedua tangannya di depan dada. 

“Ta-tadi ada, ada….” Novan memegang erat pundak Jene ketakutan. Namun, siapa sangka sosok Jene tiba – tiba berubah menjadi sosok besar dengan mata merah menyala. 

“Sudah kuperingatkan untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin. Kalian telah melakukan banyak kesalahan!” Sosok itu kemudian berusaha menangkap ketiga pemuda yang berlari ketakutan keluar rumah. Sampai di depan pintu keluar, mereka menabrak Jene yang baru masuk membawa kantong kresek berisi makanan. Mereka mundur menjauhi Jene sambil meminta ampun.

     “Ampun–ampun kita bakal balikin mangganya, kita bakal minta maaf kok.” Roni memohon sembari menangkupkan kedua tangan, Novan dan Frans pun mengikuti tindakan Roni.

     Jene yang kebingungan pun mengerti kemana arah pembicaraan mereka dan mengetahui kenapa mereka bersikap seperti itu. “Kan gue bilang apa, makanya jangan suka sembarangan mengambil sesuatu yang bukan punya kita.” Jene memijat pelipisnya.

“Yaudah ayo kita balik ke rumah tua itu dan temui penjaganya atau kalau perlu kita cari pemilik rumahnya dan meminta maaf karena mencuri mangga miliknya,” ujar Jene kepada Roni, Novan dan Frans yang hanya mendapat anggukan.


-Selesai-


Penulis : Raihan Rasyiid dan Afidatul Ihwani 

Editor : Inggil Azkarahma 

Layouter : Seno

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama