The Conversation: The real problem with toxic masculinity is that it assumes there is only one way of being a man
(Sumber: Pinterest)

Akhir-akhir ini, sedang viral sebuah novel “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” karya Eka Kurniawan yang berbau 21+ karena topik yang diangkat adalah kekerasan seksual mengarah pada toxic masculinity. Novel ini kemudian dijadikan sebuah film dengan judul sama yang tayang di bioskop pada 2 Desember 2021 lalu. Sang sutradara, Edwin, mengungkapkan bahwa toxic masculinity menjadi fokus isu dalam film tersebut. Ia juga mengungkapkan pendapatnya, yaitu “Tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, cerita dan mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki menjadi sangat familiar bagi saya. Kejantanan adalah tolak ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah!”. Dilansir dari medcom.id, Edwin juga menekankan bahwa budaya toxic masculinity masih terjadi di Indonesia bahkan hingga hari ini, di tengah masyarakat yang harusnya mempunyai pemikiran demokratis dibandingkan tahun 1980-an.

Pendapat Edwin ada benarnya. Sejak dulu, ketika kita menilik kembali kebiasaan masyarakat Indonesia dalam memperlakukan dan mengajarkan anak laki-laki mereka sejak kecil pastilah pendapat yang akan dilontarkan mayoritas tak jauh dari pengajaran bagaimana menjadi pria tangguh dan kuat. Bahkan, terkadang mengandalkan kekuatan mereka untuk kekerasan dan menginjak-injak orang yang lebih lemah. Mereka menganggap beberapa hal yang merujuk pada sesuatu yang feminin adalah tugas perempuan semata. Hal itu pun berlaku hingga kini. Hal ini ditandai dengan, masyarakat dewasa ini terutama kaum laki-laki, meskipun zaman sudah modern masih banyak yang memandang aktivitas “rumahan” seperti membereskan rumah, menjaga anak, dan memasak hanya pantas dilakukan oleh perempuan. Namun, tahukah Anda bahwa hal-hal yang demikian merupakan salah satu dampak dari kurangnya kesetaraan gender berupa toxic masculinity? Lalu, sebenarnya apakah toxic msculinity itu? Simak informasinya berikut ini terkait pengertian, ciri-ciri, dampak, dan cara mencegah doktrin toxic masculinity.

 

Apa Itu Toxic Masculinity?

Toxic masculinity menurut Journal of School Psychology adalah sebuah pemahaman sempit mengenai peran gender dan sifat laki-laki di mana menutut laki-laki untuk memiliki sifat dan sikap yang berhubungan dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi; di mana kumpulan sifat yang dianggap maskulin ini mengacu pada dominasi, kekerasan, perendahan terhadap perempuan dan orang lain, hingga homophobia. Seseorang yang terdoktrin toxic masculinity biasanya menganggap bahwa kekerasan, agresif secara seksual, dan menutup atau tidak mengungkapkan emosi secara gamblang (khususnya sedih dan tangis) sebagai sifat wajib yang harus, tanpa diganggu gugat, dimiliki pria untuk menjadi lelaki “seutuhnya”. Sifat maskulinitas sendiri tidak hanya dianut oleh seseorang karena keinginan pribadi serta keyakinan teguh akan jiwa lelaki yang “seutuhnya”.

Toxic masculinity juga dapat terjadi pada seseorang karena pengaruh lingkungan. Contohnya, pada sebuah wawancara, Jaka, pseudonim, mengatakan, “Sewaktu kecil, teman-teman sekolah, guru, kemudian kakak-kakakku sendiri, misalkan kalau aku nangis karena suatu hal, pasti pada bilang, “Jangan nangis dong lo, kayak cewek aja. Jadi cowok nggak boleh nangis, nggak boleh lemah. Laki-laki harus lebih kuat dari perempuan.” Loh? Aneh. Apakah bila laki-laki menangis berarti melanggar hukum? Melakukan tindak kriminal? Merugikan orang lain? Tidak, kan? Jadi, laki-laki boleh saja menangis. Tidak apa-apa jika laki-laki menangis. Itu bukan sebuah kesalahan, yang salah justru lingkungan yang menghakiminya. Laki-laki juga boleh menunjukkan emosinya sama seperti perempuan. Tidak ada standar dalam merasakan dan menunjukkan emosi terkait gender, “Ingat kamu itu laki-laki!”, klasik. Memangnya harus segila itu pada sebuah pandangan klasik orang-orang di sekitar kita? Apa ada buku pedoman atau peraturan negara yang melarang seseorang menangis berdasarkan gender? Tidak ada, kan.

Dari kutipan wawancara Jaka, dapat disimpulkan bahwa lingkungan dapat mempengaruhi tumbuhnya paham yang mengarah pada toxic masculinity. Sehingga seseorang yang masih anak-anak, sudah tertanam dalam dirinya bahwa laki-laki tidak boleh menangis dan tidak boleh lemah. Akan tetapi, sifat laki-laki yang mengarah pada toxic masculinity belum tentu semua dari mereka memilikinya. Seorang laki-laki juga dapat memiliki sifat yang bisa disebut “feminin” seperti lemah lembut dan sensitif terhadap suatu hal. Begitu pula dengan perempuan, mereka juga memiliki sejumlah karakteristik yang dianggap sebagai bagian dari “maksulinitas”. Untuk lebih mengenal toxic masculinity, berikut ini ciri-cirinya.

 

Ciri-ciri Toxic Masculinity

Agar dapat lebih memahami dan mencegah orang-orang di sekitar kita menganut toxic masculinity, ada baiknya kita mengetahui ciri-ciri perilaku dan konsep toxic masculinity pada umumnya. Ciri-cirinya sebagai berikut:

-          Laki-laki dianggap lemah jika menunjukkan emosinya seperti mengeluh, curhat, dan menangis.

-          Mengagungkan tindakan-tindakan berisiko bagi diri sendiri dan orang lain seperti merokok, minum alkohol, berkendara dalam kecepatan tinggi, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan sebagainya.

-          Menganggap bahwa kegiatan memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, dan sejenis adalah tugas perempuan atau hal yang hanya boleh dan harus dilakukan oleh perempuan.

-          Meledek penampilan laki-laki yang berpenampilan rapi, memakai make-up, dan merawat diri.

-          Membuat standar pilihan warna mana yang dianggap sesuai untuk laki-laki dan perempuan.

-          Sering menggunakan kekerasan untuk menunjukkan dominasi terhadap orang lain, terutama perempuan.

-          Memiliki agresivitas seksual terhadap pasangan dan orang lain.

Dampak Toxic Masculinity

Toxic masculinity ini bersifat destruktif; membahayakan bagi seorang laki-laki dan lingkungannya karena mengekang sifat laki-laki dalam pertumbuhannya. Laki-laki yang dianggap tidak memenuhi kriteria tersebut akan merasa bahwa ia hanya akan diterima dalam masyarakat dan lingkungannya jika berperilaku sesuai konsep toxic masculinity tersebut. Oleh karena itu, toxic masculinity memiliki dampak yang fatal baik untuk laki-laki itu sendiri, orang-orang maupun lingkungannya. Dampak toxic masculinity sebagai berikut.

1.      Bagi laki-laki itu sendiri

Hal yang paling umum adalah laki-laki diajarkan untuk tidak menunjukkan emosi seperti sedih dan menangis karena dilabeli karakterstik feminin seorang perempuan dan hanya boleh atau bahkan dianggap memang harus dilakukan oleh perempuan. Semua beban ini tentu saja akan menumpuk seiring waktu. Meski tampak seperti hal yang wajar, nyatanya toxic masculinity dapat berbahaya bagi kesehatan mental laki-laki tersebut sehingga rentan mengalami depresi yang mengakibatkan trauma mental dan gangguan psikologis. Ditambah lagi mencari pertolongan ke psikolog ataupun psikiater masih menjadi stigma di lingkungan masyarakat kita. Toxic masculinity juga dapat memunculkan batasan-batasan tidak logis mengenai sifat pria dalam hidup dan bermasyarakat. Bukan tidak mungkin, hal ini justru dapat menyebabkan konflik, baik dalam diri pria itu sendiri ataupun lingkungan sekitar.

2.      Bagi perempuan dan masyarakat

Dampak lain dari toxic masculinity adalah terhadap kaum perempuan tampak dimana laki-laki yang menganut paham tersebut merasa superior atau lebih baik daripada perempuan. Hal ini sering merujuk pada pelecehan, pemerkosaan, dan kekerasan dalam berhubungan (terhadap pasangan, istri atau anak). Toxic masculinity dapat merebak ke arah penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam pacaran (KDP) yang menimpa perempuan juga merupakan salah satu struktur dari patriarki (Walby, 2014: 29). Konstruksi bahwa laki-laki tidak mengekspresikan kesedihan dengan menangis membuat laki-laki kerap tidak memiliki wadah penyampaian emosi atau perasaannya yang tidak terkendali. Celakanya secara sadar maupun tidak sadar, ketidakmampuan mereka dalam mengolah emosi secara baik dapat membawa mereka terjebak dalam konsep maskulinitas yang beracun (toxic masculinity). Akibatnya laki-laki dapat memiliki pemikiran bahwa satu-satunya emosi yang dapat ditunjukkan atau ditampilkan adalah amarah, dimana tidak jarang kemarahan diluapkan secara negatif melalui kekerasan.

 

Pencegahan Toxic Masculinity

Seperti hal kecil yang lama-lama semakin besar (disebut “The Snowball Effect”), perilaku toxic masculinity bisa menimbukan hal-hal lain yaitu bullying, persahabatan yang toxic, trauma psikologis, hingga yang paling parah menyebabkan tindakan bunuh diri baik bagi pelaku maupun korban. Menurut media kesehatan dan kebugaran di Amerika, ada tiga hal penting yang dapat mencegah toxic masculinity, yaitu belajar untuk dapat menerima keadaan, mencari lingkungan atau teman positif, belajar untuk percaya pada diri sendiri. Selain itu, pemahaman toxic masculinity perlu dicegah sejak dini terutama pada anak laki-laki melalui:

-          Mengajarkan bahwa tidak ada yang salah dengan laki-laki memperlihatkan emosinya, menangis, dan mencurahkan perasaannya.

-          Menghindari perkataan stereotipe seperti “Kamu berbicara seperti perempuan” atau “Jangan berjalan seperti perempuan” dan semacamnya.

-          Mengajarkan konsep konsensual sesuai dengan umur anak seperti harus menghargai batasan atau privasi setiap orang dan tubuh setiap orang adalah milik orang tersebut.

-          Menyaring media hiburan seperti film dan buku yang dikonsumsi anak. Jika menemukan elemen toxic masculinity dalam media tersebut, anak harus diberitahu sehingga ia dapat belajar membedakan mana yang boleh dicontoh dan tidak boleh.

Demikianlah beberapa hal mengenai toxic masculinity yang perlu kita semua ketahui. Pencegahan terhadap toxic masculinity harus disertai dengan pemikiran bahwa setiap orang dapat mengatasi problema mereka sendiri, tidak hanya laki-laki saja. Setiap orang berhak menangis dan mengeluh, karena hidup memang tak selamanya mulus. Wajar saja seseorang merasa lelah sehingga banyak emosi yang terkumpul mulai dari sedih, marah, kecewa, dan sebagainya. Kesimpulannya, kita hanya perlu memeluk emosi itu dengan pikiran terbuka, agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Referensi

Adrian, K. 2021. Toxic Masculinity, Ini yang Perlu kamu Ketahui. http://www.alodokter.com/toxic-masculinity-ini-yang-perlu-kamu-ketahui. Diakses pada 1 Februari 2022.

Jufanny, D. 2020. Toxic Masculinity dalam Sistem Patiarki (Analisis Wacana Kritis Van Dijk Dalam Film “Posesif”). http://journal.ubm.ac.id. Diakses pada 29 Januari 2022.

Ramadhini, S. 2021. Mengenal Toxic Masculinity, Perilaku Maskulin yang Berlebihan. https://id.theasianparent.com/toxic-masculinity. Diakses pada 1 Februaru 2022.

 

Penulis

Restiana Setia Ningrum (MG1400)

Siti Roqidah (MG1406)

1 Komentar

Anonim mengatakan…
🌟🌟
Lebih baru Lebih lama