Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi. Apalagi di era teknologi seperti saat ini, masyarakat bebas mengemukakan pendapatnya melalui media sosial, kapanpun dan dimanapun. Tak hanya kebebasan menyampaikan pendapat, tetapi kebebasan menyampaikan kritik pun telah banyak dilakukan. Meski menggunakan kata kebebasan, namun tetap harus mempertanggungjawabkan isi dan jenis pendapat ataupun kritik yang telah disampaikan. Serta harus memperhatikan hak orang lain dan mengedepankan musyawarah mufakat. Sayangnya, alih-alih menggunakan hak dalam bebas berpendapat dengan menyampaikan sebuah kritikan, masyarakat kebanyakan cenderung tidak memperhatikan isi dari pendapatnya atau kritikan yang disampaikan. Apakah bisa dipertanggungjawabkan isi dan kebenarannya atau hanya sekadar hisapan jempol belaka yang belum tentu terbukti kebenarannya.


Makna kata pendapat menurut KBBI merupakan pikiran atau anggapan contoh dalam negara demokrasi setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya. Dapat juga diartikan buah pemikiran atau perkiraan tentang suatu hal (seperti orang, peristiwa). Arti ketiga yaitu pendapat merupakan kesimpulan (sesudah mempertimbangkan, menyelidiki, dan sebagainya). Sedangkan arti kritik menurut KBII adalah kecaman atau tanggapan, yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Kemudian jika melihat secara etimologis dari bahasa Yunani, yaitu κριτικÏŒς, 'clitikos - "yang membedakan". Kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuno κριτής, krités. Artinya "orang yang memberikan pendapat beralasan" atau "analisis", "pertimbangan nilai", "interpretasi", atau "pengamatan".


Pada dasarnya, menyampaikan kritik adalah suatu hal atau tindakan yang baik. Asalkan dalam menyampaikan kritik dilakukan secara jelas tanpa menyinggung pihak manapun. Bahkan semenjak Sekolah Dasar sudah diajarkan dalam menyampaikan kritik harus menggunakan bahasa yang baik dan mudah dipahami maksudnya, serta tidak menyinggung pihak yang dikritik, atau bahkan menggunakan statement yang tidak dikaji ulang kebenarannya. Karena hal tersebut bisa memicu kesalahpahaman antar pihak yang dikritik dan pihak yang mengkritik.


Nahasnya lagi saat menyampaikan kritik tidak pada tempat yang seharusnya, misal menyampaikannya melalui media sosial yang bisa diakses banyak orang. Sebenarnya sah-sah saja menyampaikan kritik asal dengan cara yang baik. Misalnya menyampaikan kritik melalui karya. Hal ini sudah umum dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai profesi, misalnya saja seorang seniman menyampaikan kritik dengan karya seni, misalnya dengan nyanyian, pentas teater atau drama, lawakan, dan sebagainya. Ilmuwan, kritikannya membuat buku/tulisan. Sedangkan masyarakat melenial saat ini melalui media sosial, misalnya melalui postingan di Facebook, Instagram, WhatsApp, bahkan melalui instastory.


Kualitas dalam menyampaikan kritik juga menunjukkan kualitas orang yang menyampaikan kritik atau biasa disebut sebagai kritikus. Semakin berkualitas dan dengan cara yang berkualitas pula, maka akan semakin berbobot penyampaian kritik yang dilakukan. Berbeda dengan masyarakat sumbu pendek yang dengan mudah menyampaikan kritikan tanpa mengkaji lebih dalam mengenai kasus yang dikritisi. Seperti kebanyakan yang terjadi saat ini, banyak kasus masyarakat dari medsos tersebut masuk prodeo karena melanggar UU ITE. Dalam UU ITE, selayaknya yang di larang dan di blokir adalah ujaran ‘kebencian’ karena rasa ini timbul/niat dari egoisme orang tersebut, dengan landasan fitnah, provokasi, atau hoaks.


Banyak kasus ditemui dengan berdalih mengkritisi, namun telah menyebarkan statement yang tidak benar dalam kritikannya. Apalagi jika kritikan tersebut disampaikan di media sosial yang bisa diakses oleh semua orang. Sehingga alih-alih menyampaikan kritikan, malah menyebarkan berita hoaks atau berita palsu.


Pemberitaan palsu/Hoaks (Fitnah), merupakan suatu usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu yang di kabarkan/disampaikan, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu belaka. Di era internet saat ini, suatu Pemberitaan palsu bisa dibuat dengan mengedit atau memformat rekaman audio, video/film dan tulisan.


Fitnah dapat dikatakan sebagai salah satu pencemaran nama baik. Fitnah juga salah satu tindak kejahatan menista baik secara langsung maupun berupa tulisan yang jika diminta untuk membuktikan tuduhan tersebut tidak ditemukan kebenaranya.


Fitnah atau Bahasa milenialnya biasa disebut dengan hoaks bukan sesuatu yang baru. Kebiasaan buruk kebanyakan orang adalah hanya membaca judul berita tanpa membaca isi berita. Terlebih tidak sedikit berita memberi judul yang heboh tetapi tidak sesuai dengan artikel.


Hal itu lah yang menggiring opini masyarakat ke hal yang tidak sesuai kebenarannya. Konsekuensi yang dapat timbul setelah hoaks meluas yaitu membuat masyarakat jadi curiga bahkan membenci kelompok tertentu, merugikan suatu kelompok atau golongan yang menjadi objek berita hoaks atau dapat dikatakan pencemaran nama baik.


Penerimaan informasi seperti ini akan lebih cepat tersampaikan oleh beberapa faktor seperti media, lingkungan, suatu golongan dan keyakinan yang dimiliki sebelumnya. Salah satu wadah utama dimana fitnah, hokas hingga ujaran kebencian dapat menyebar secara cepat dan luas adalah di media sosial.


Bagaimanapun fitnah hokas dan ujaran kebencian di dunia digital merupakan isu yang serius dan seharusnya dapat diantisipasi. Selain itu perlu meninjau ulang definisi ujaran kebencian. Di Indonesia sendiri, definisi ujaran kebencian dapat ditemui di UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan surat edaran Polri.


Pencemaran nama baik di media sosial diatur khusus dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP (penistaan dan fitnah).


Maka sudah seharusnya sebagai pengguna media sosial kita harus lebih bijak dalam pemanfaatannya. Karena apapun yang kita posting dan bagikan melalui media sosial adalah tanggung jawab kita sebagai pemilik dan pengguna. Sehingga penyampaian pendapat atau bahan kritik yang membangun dapat tersampaikan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan yakni bersama-sama melakukan perbaikan.

 


 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama