Ilusttrasi: https://images.app.goo.gl/gYnAHeC44ovaNo2t9


Sepertinya, mayoritas orang pasti pernah melalui masa kanak-kanak. Begitu juga dengan diriku. Sebagai seorang gadis yang feminim, banyak orang yang mengira bahwa diriku dibesarkan layaknya seorang tuan puteri. Teman-temanku banyak yang mengira bahwa masa kecilku dimanja dengan boneka, gaun pink, dan aksesoris tuan puteri lainnya. Itu salah besar, sebab diriku semasa kecil adalah bocah yang tomboi dan nakal.

“Yura! Turun dari atas pohon, sekarang juga!”, teriak ibu saat melihatku sedang memanjat pohon kelapa.

“Sebentar, Bu! Yura masih bisa naik sedikit lagi!” Aku sedang bertanding memanjat pohon kelapa dengan teman-temanku, tentunya mereka semua anak laki-laki. Aku tidak terlalu suka bermain masak-masakan atau rumah-rumahan. Justru lebih nyaman bagiku bermain sepakbola dan layang-layang.

“Kamu ini! Udah dibilangin jangan main di deket pohon kelapa, eh ini malah manjat pohon!” omel ibuku sembari menjewer telingaku dengan teramat sangat lembut hingga membuatku menangis.

“HUUAAA!!! Tapi kan aku menang! Aku bisa manjat lebih tinggi dari anak-anak yang lain!”

“T’rus kalo sampe jatuh, kamu mau jadi apa? Diolesin obat merah aja kamu nangis, gimana kalo sampe jatuh dari pohon coba?” Kutekuk wajahku sembari terisak pelan dan memilih pulang ke rumah untuk mengurung diri di kamar sebagai tanda merajuk.

Yap! Perempuan feminim ini dulunya adalah seorang bocah yang tomboi, cengeng, mudah merajuk, dan keras kepala. Meski ibu sudah berulang kali melarangku memanjat pohon kelapa, aku masih saja melakukannya. Aku sering berpikir tentang bagaimana ibuku bisa sabar menghadapiku yang nakal selama ini.

Memang ibuku marah setiap kali aku mulai berulah, namun dibalik marahnya terdapat kasih sayang yang tak terbatas. Meski begitu, kenakalanku tidak berhenti sampai di situ. Saat masa pubertas, itulah masa dimana aku mulai terbawa pengaruh lingkungan dan menjadi semakin nakal.

“Yura! Darimana lagi kamu?! Minggu lalu sudah bolos, sekarang pergi tanpa pamit! Ngilang berhari-hari, sekarang baru pulang! Mau jadi apa kamu kalo kayak gini terus?”

“Bawel, ah! Aku bosen di rumah terus.”

“Yura, dengerin ibumu. Kalo dibilangin jangan ngebantah.”

“Bapak ngapain sih sok nasehatin?! Sendirinya juga jarang pulang ke rumah.”

PLAK!

Itu pertama kalinya bapak menamparku. Selama ini bapak tidak pernah marah padaku dan kini ia menamparku. Aku sadar yang kulakukan itu salah, tapi aku enggan untuk mengakuinya dan memilih untuk mengurung diri di kamar. Kemudian tidur karena kupikir situasi akan membaik setelah aku terbangun.

Ternyata perkiraanku salah. Aku tidak terbangun di kamarku. Dengan bau obat-obatan khas rumah sakit, kutafsirkan diriku ada di salah satu kamar rumah sakit. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. ‘Bagaimana bisa aku ada di sini? Apa aku sakit? Bukankah kemarin aku tidur di kamar?’, batinku berkecamuk. Hingga akhirnya seorang wanita paruh baya masuk dari pintu dan memandangku dengan penuh keterkejutan. Segera saja wanita itu berbalik arah sembari memanggil-manggil dokter.

Wanita itu ternyata adalah bibiku, ia nampak lebih tua dari terakhir kali kami bertemu. Setelah dokter, perawat, dan bibiku menjelaskan, kini aku paham mengapa bibiku nampak lebih tua. Mereka bilang, aku mengalami koma selama 7 tahun lamanya. Hal itu terjadi setelah bom meledak tak jauh dari rumahku dan aku mengalami cedera berat di kepala.

“Lalu… Bapak dan ibu... Gimana keadaan mereka?”, tanyaku penuh harap. Dapat kulihat ketiga orang itu saling bertukar pandang, ragu untuk mengatakan sesuatu.

Bibi memelukku, mengusap punggung dan berkata, “Yura… Kamu yang tabah, ya… Dalam peristiwa itu, banyak korban jiwa bejatuhan… Dan kedua orang tuamu juga menjadi korban dari insiden itu.”

Tes…

Airmataku jatuh mengalir begitu saja. Aku tak percaya. Kuharap semua itu bohong. Kuharap semua itu hanyalah mimpi burukku dan saat terbangun, aku masih mendapati kedua orang tuaku di luar kamar. Tapi, ini bukanlah mimpi. Tanpa ada pertanda atau peringatan, aku kehilangan mereka begitu saja. Aku benar-benar menyesal. Waktu yang terakhir kali kami habiskan bersama, justru penuh amarah durjana.

“Bapak… Ibu… Maafkan, aku…” Aku tak dapat memutar kembali waktu. Aku juga tidak boleh merenungi hidup terlalu lama. Yang dapat kulakukan kini hanyalah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Melakukan banyak hal baik sehingga pahala yang kudapat, dapat kuberikan kepada mereka.

Itu sebabnya mengapa kini aku berubah menjadi perempuan yang feminim. Mungkin lebih tepatnya, kini aku sedang berproses menjadi perempuan yang baik… Dalam kenangan yang tersisa.

 

Oleh: Ema Prastiyanti (MG1312) dan Nur Azizah Dwijo Susanto (MG1341)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama