Sepertinya,
mayoritas orang pasti pernah melalui masa kanak-kanak. Begitu juga dengan
diriku. Sebagai seorang gadis yang feminim, banyak orang yang mengira bahwa
diriku dibesarkan layaknya seorang tuan puteri. Teman-temanku banyak yang
mengira bahwa masa kecilku dimanja dengan boneka, gaun pink, dan aksesoris tuan
puteri lainnya. Itu salah besar, sebab diriku semasa kecil adalah bocah yang tomboi
dan nakal.
“Yura!
Turun dari atas pohon, sekarang juga!”, teriak ibu saat melihatku sedang
memanjat pohon kelapa.
“Sebentar,
Bu! Yura masih bisa naik sedikit lagi!” Aku sedang bertanding memanjat pohon
kelapa dengan teman-temanku, tentunya mereka semua anak laki-laki. Aku tidak terlalu
suka bermain masak-masakan atau rumah-rumahan. Justru lebih nyaman bagiku
bermain sepakbola dan layang-layang.
“Kamu
ini! Udah dibilangin jangan main di deket pohon kelapa, eh ini malah manjat
pohon!” omel ibuku sembari menjewer telingaku dengan teramat sangat lembut
hingga membuatku menangis.
“HUUAAA!!!
Tapi kan aku menang! Aku bisa manjat lebih tinggi dari anak-anak yang lain!”
“T’rus
kalo sampe jatuh, kamu mau jadi apa? Diolesin obat merah aja kamu nangis,
gimana kalo sampe jatuh dari pohon coba?” Kutekuk wajahku sembari terisak pelan
dan memilih pulang ke rumah untuk mengurung diri di kamar sebagai tanda
merajuk.
Yap!
Perempuan feminim ini dulunya adalah seorang bocah yang tomboi, cengeng, mudah
merajuk, dan keras kepala. Meski ibu sudah berulang kali melarangku memanjat
pohon kelapa, aku masih saja melakukannya. Aku sering berpikir tentang
bagaimana ibuku bisa sabar menghadapiku yang nakal selama ini.
Memang
ibuku marah setiap kali aku mulai berulah, namun dibalik marahnya terdapat
kasih sayang yang tak terbatas. Meski begitu, kenakalanku tidak berhenti sampai
di situ. Saat masa pubertas, itulah masa dimana aku mulai terbawa pengaruh
lingkungan dan menjadi semakin nakal.
“Yura!
Darimana lagi kamu?! Minggu lalu sudah bolos, sekarang pergi tanpa pamit!
Ngilang berhari-hari, sekarang baru pulang! Mau jadi apa kamu kalo kayak gini
terus?”
“Bawel,
ah! Aku bosen di rumah terus.”
“Yura,
dengerin ibumu. Kalo dibilangin jangan ngebantah.”
“Bapak
ngapain sih sok nasehatin?! Sendirinya juga jarang pulang ke rumah.”
PLAK!
Itu
pertama kalinya bapak menamparku. Selama ini bapak tidak pernah marah padaku
dan kini ia menamparku. Aku sadar yang kulakukan itu salah, tapi aku enggan
untuk mengakuinya dan memilih untuk mengurung diri di kamar. Kemudian tidur
karena kupikir situasi akan membaik setelah aku terbangun.
Ternyata
perkiraanku salah. Aku tidak terbangun di kamarku. Dengan bau obat-obatan khas
rumah sakit, kutafsirkan diriku ada di salah satu kamar rumah sakit. Aku tidak
mengerti apa yang terjadi. ‘Bagaimana
bisa aku ada di sini? Apa aku sakit? Bukankah kemarin aku tidur di kamar?’,
batinku berkecamuk. Hingga akhirnya seorang wanita paruh baya masuk dari pintu
dan memandangku dengan penuh keterkejutan. Segera saja wanita itu berbalik arah
sembari memanggil-manggil dokter.
Wanita
itu ternyata adalah bibiku, ia nampak lebih tua dari terakhir kali kami
bertemu. Setelah dokter, perawat, dan bibiku menjelaskan, kini aku paham
mengapa bibiku nampak lebih tua. Mereka bilang, aku mengalami koma selama 7
tahun lamanya. Hal itu terjadi setelah bom meledak tak jauh dari rumahku dan
aku mengalami cedera berat di kepala.
“Lalu…
Bapak dan ibu... Gimana keadaan mereka?”, tanyaku penuh harap. Dapat kulihat
ketiga orang itu saling bertukar pandang, ragu untuk mengatakan sesuatu.
Bibi
memelukku, mengusap punggung dan berkata, “Yura… Kamu yang tabah, ya… Dalam
peristiwa itu, banyak korban jiwa bejatuhan… Dan kedua orang tuamu juga menjadi
korban dari insiden itu.”
Tes…
Airmataku
jatuh mengalir begitu saja. Aku tak percaya. Kuharap semua itu bohong. Kuharap
semua itu hanyalah mimpi burukku dan saat terbangun, aku masih mendapati kedua
orang tuaku di luar kamar. Tapi, ini bukanlah mimpi. Tanpa ada pertanda atau
peringatan, aku kehilangan mereka begitu saja. Aku benar-benar menyesal. Waktu
yang terakhir kali kami habiskan bersama, justru penuh amarah durjana.
“Bapak…
Ibu… Maafkan, aku…” Aku tak dapat memutar kembali waktu. Aku juga tidak boleh
merenungi hidup terlalu lama. Yang dapat kulakukan kini hanyalah berubah
menjadi pribadi yang lebih baik. Melakukan banyak hal baik sehingga pahala yang
kudapat, dapat kuberikan kepada mereka.
Itu
sebabnya mengapa kini aku berubah menjadi perempuan yang feminim. Mungkin lebih
tepatnya, kini aku sedang berproses menjadi perempuan yang baik… Dalam kenangan
yang tersisa.
Oleh: Ema Prastiyanti (MG1312) dan Nur Azizah Dwijo Susanto
(MG1341)