Gambar: http:// www.rituel-damour-retour-affectif.net
     Matahari masih nampak malu-malu untuk menampakkan dirinya. Masih terlihat malu untuk menyapa tetesan embun yang penuhi dedaunan. Hari ini juga masih terlalu pagi untuk mendengar suara tangisan yang menyayat hati. Mungkin juga masih terlalu dini untukku mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Sepasang tangan kasar milik ibu meraih tubuh kecilku. Mata bulatku mengerjap, mempertanyakan alasan ibu menangis. Tangan kecilku meraba wajah lelah perempuan yang menggendongku. Menghapus pelan sisa-sisa bukti kesedihan.
“Sayang, kalau nanti kita tidak tidur di sini bagaimana?” tanya ibu dengan suara parau. Aku masih diam. Tak mengerti apa yang ibu tanyakan.
“Maafkan Ibu, mulai hari ini kita tidak akan tinggal di sini. Ayah, ibu, kakak, dan kamu akan meninggalkan rumah ini” bisik ibu pelan. Pikiran polosku mencoba mencerna apa yang ibu katakan. Mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku mengangguk kecil. Bibir kecilku mulai bergerak mengucap apa yang ingin aku utarakan. 
             “Baik Bu di mana pun dan ke mana pun asal bersama ibu, ayah, dan kakak, aku akan baik-baik saja.”
Ibu tersenyum mendengar jawabanku. Ia bersyukur memiliki putri kecil sepertiku, begitu juga aku yang bersyukur memiliki perempuan tangguh itu. Mataku kembali mengerjap. Aku kembali memasang ekspresi ingin tahu. 
             “Ibu, kenapa? Kenapa kita harus pergi? Aku memang tidak apa-apa harus meninggalkan rumah ini. Namun, kumohon beritahu aku yang terjadi sebenarnya, agar aku bisa memahaminya kini dan nanti.”
Ibu tersenyum lembut. Bibir keringnya mulai bercerita. Menceritakan tentang fakta sebenarnya. Tentang kesalahpahaman nenekku yang menjadi penyebab aku dan keluargaku harus meninggalkan rumah. Tentang nenek yang tidak suka saat ibu menegurnya yang menggunakan sapu dalam rumah untuk menyapu pelataran rumah, sehingga ia merasa jika ibu menggurui nenek, dan pada akhirnya kalimat yang tidak diinginkan terdengar. Ibu harus pergi dari rumah.
Aku tersenyum samar. Aku menganggukkan kepalaku tanda paham duduk perkaranya. “Nak, inilah hidup yang sebenarnya, hidup yang penuh lika-liku. Keluarga ini ibarat kapal yang Ayah dan Ibu kemudikan. Sebesar apapun badai yang menerpa, kami harus mampu mengendalikan laju kapal.” Jelas ibuku dan aku mendengarkan dalam diam. Seolah paham di usiaku yang masih kecil.
Hari ini juga aku  melepaskan semuanya. Meninggalkan semua yang aku miliki di rumahku. Namun, hari ini juga aku merengkuh pemahaman-pemahaman yang baru. Aku mendongakkan wajahku, menatap lamat wajah nahkoda terhebat dalam hidupku. Wajah ayah terlihat tenang, seolah yang dialaminya bukan masalah besar. Seolah ayah pernah berada di titik yang lebih rendah dari ini. Aku tersenyum kecil menatap ayah. 
Tanganku digenggam oleh kakakku. Dia juga sama sepertiku, tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya tau jika hidupnya tak akan lagi sama seperti dulu. Namun, itu bukan masalah besar baginya. Baginya selagi langkahnya bersama ayah, ibu, dan diriku, semua akan baik-baik saja. 
Malam telah datang. Aku dan keluargaku berteduh di rumah sahabat ibuku. Hujan di luar membuatku segera merapatkan selimut. Sesekali air jatuh dari atap dan percikannya mengenai wajahku. Aku mengusap wajahku pelan tanpa keluhan. 
“ Maaf ya Nak, kita harus tidur di atas kasur lantai, tapi Ayah janji kita akan segera mendapatkan tempat yang lebih baik.” Ucap ayah. 
“ Tidak apa-apa Ayah, jangan terlalu difikirkan.” Kakakku berbisik pelan sambil merapatkan pelukanya ke tubuhku. Aku tersenyum mendengar apa yang kakak katakan. Segera ku tidur sambil mengusir kegundahan yang mengganggu datangnya mimpi indahku. 
Pagi telah menyapa, aku dan ibuku pergi mengunjungi rumah nenek. Ibuku tetap memasak dan membersihkan rumah nenek. Berbakti pada nenek tanpa mempeduliakn rasa benci neneku. Ibu mencoba berbicara pelan pada nenek. Mencoba menjelaskan agar kesalahpahaman tidak ada lagi. Namun, nenek terlalu keras kepala untuk menerima kebenaranya. Tak jarang aku mendengar gebrakan meja yang dilakukan nenek. Aku memandangnya dengan rasa takut, tapi tak ada yang bisa ku lakukan.
Ibuku tak menemukan jalan keluar. Semakin ibuku ingin menjelaskan, semakin nenek menolak. Ibu menyerah, ia menarikku keluar rumah. Membawaku ke dalam gendonganya. Aku mengusap pelan pipi ibu, ibu tersenyum di tengah kebingunganya. 
“ Ibu akan mencari cara agar tetap bisa merawat nenekmu tanpa tinggal serumah.” Bisik ibu. Aku mengangguk semangat. Dalam hati aku berjanji akan mengingat semua yang terjadi. Mengingat pelajaran-pelajaran hidup yang berharga, agar aku bisa menjadikannya pedoman di masa aku beranjak dewasa.

Karya : Lu’lu Alfi Malikha (MG1237), Sofi Andri Yani (MG1276)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama