“…Ku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu mendemo sekarang ku didemo. Dulu,dulu,dulu, aku aktivis mahasiswa sekarang aku DPR…”
Lirik lagu itu seolah menggambarkan tentang kondisi yang sedang dialami oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dulunya merupakan mantan aktivis 98. Meskipun gerakan mahasiswa 1998 sudah 21 tahun berlalu, tetapi kisah-kisahnya terus melegenda dan selalu diceritakan pada acara-acara kaderisasi mahasiswa seperti saat kegiatan ospek. Mungkin kisah-kisah reformasi pula yang membentuk idealisme dalam diri mahasiswa. Bagaimana tidak? Pergerakan mahasiswa tahun 1998 telah berhasil menduduki gedung DPR dan menjatuhkan kekuasaan Soeharto serta mencetak sejarah di Indonesia yaitu masa Reformasi. Tahun 2019, peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa waktu terakhir seolah menyatakan bahwa reformasi belum benar-benar tuntas. Beberapa peristiwa yang terjadi kembali menyulut pemikiran kritis mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia seperti kembali menemui masa Orde Baru (Orba) dengan warna baru, sehingga mereka turun ke jalan untuk menuntaskan reformasi. Akan tetapi, ternyata beberapa anggota DPR juga pernah menjadi aktivis di masa Orba tahun 1998. Berikut ini adalah beberapa mantan aktivis 98 yang kini menjadi pejabat negara dilansir dari merdeka.com, (25/09):
1. Desmond Junaidi Mahesa
sumber: jawapos.com |
Mantan aktivis 98 ini, kini menjadi politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Menjabat sebagai Wakil Ketua komisi III DPR periode 2014-2019 dari daerah Banten II. Pada pemilu 2019, ia kembali terpilih sebagai anggota DPR dari wilayah Banten II periode 2019-2024.
2. Budiman Sudjatmiko
sumber: tribunnews.com |
Sudah dua kali menjabat sebagai anggota DPR dari partai PDIP melalui Daerah Pemilihan (dapil) Jawa Tengah VIII. Periode 2009-2014 dan periode kedua pada 2014-2019. Dalam Pileg 2019, ia menyalonkan diri di dapil Jawa Timut VII.
3. Fahri Hamzah
sumber: tribunnews.com |
Merupakan mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua DPR dan anggota DPR komisi III lewat dapil NTB. Pada Pileg 2014, Fahri Hamzah terpilih sebagai anggota DPR dari dapil NTB. Tetapi, dalam Pileg 2019, Fahri Hamzah sudah tak mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Alasannya, ia ingin menyelesaikan masalahnya di internal PKS.
4. Adian Napitulu
sumber: okezone.com |
Mantan aktivis 98 ini menjabat sebagai anggota DPR sejak 2014-2019. Adian menjabat sebagai anggota DPR dari fraksi PDIP dan mewakili dapil Jawa Barat V (Bogor). Pada Pileg 2019, kemungkinan akan kembali ke Senayan. Ia nyaleg di dapil Jawa Barat V (Bogor).
Dari data tersebut, lucu sekali jika dibayangkan bagaimana dulu mereka turun ke jalan dan berorasi menuntut reformasi. Sedangkan saat ini mereka menduduki kursi-kursi bekas pejabat yang dulu mereka tuntut. Kemudian, di masa sekarang mereka menciptakan Orde Baru dengan warna yang baru. Idealisme memang sebuah kekayaan yang dimiliki pemuda terutama mahasiswa. Akan tetapi apakah bisa dipastikan bahwa aktivis tak bisa salah kaprah ketika jalan hidupnya mulai berganti arah? Aktivis juga manusia biasa yang bisa kehilangan idealisme ketika telah berhadapan dengan realitas lalu memilih melupakan identitas. Dilansir dari liputan6.com, Jokowi menyebut-nyebut beberapa mantan aktivis 98 akan ditempatkan pada posisi penting di periode kedua pemerintahannya. Apakah status mantan aktivis 98 sudah cukup membuat kita yakin bahwa mereka tetap akan pro kepada rakyat atau justru mereka malah menjadi penjilat? Atau suatu hari mantan aktivis 2019 juga akan diberi posisi tinggi di pemerintahan? Negara ini seperti sedang dipermainkan padahal tuntutan rakyat dan akademisi bukanlah ‘guyonan’. Waktu dan keadaan dapat mengubah siapapun yang idealis menjadi realis dan bisa jadi mereka tak mau lagi bergerak secara gratis. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi aktivis mahasiswa yang sejak beberapa waktu lalu telah berjuang turun ke jalan, menyuarakan aspirasinya, membela rakyat Indonesia, membela negaranya yang sedang dijajah oleh bangsanya sendiri. Manusia tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Bisa saja, aktivis mahasiswa yang sekarang turun ke jalan juga akan menduduki kursi pejabat di masa depan. Perihal idealisme tetap ingin dipertahankan atau justru ditinggalkan, semua pilihan di diri individu masing-masing. Dalam dunia politik, tiada musuh abadi, tiada kawan abadi, karena segalanya ditentukan oleh faktor kepentingan.
Dari data tersebut, lucu sekali jika dibayangkan bagaimana dulu mereka turun ke jalan dan berorasi menuntut reformasi. Sedangkan saat ini mereka menduduki kursi-kursi bekas pejabat yang dulu mereka tuntut. Kemudian, di masa sekarang mereka menciptakan Orde Baru dengan warna yang baru. Idealisme memang sebuah kekayaan yang dimiliki pemuda terutama mahasiswa. Akan tetapi apakah bisa dipastikan bahwa aktivis tak bisa salah kaprah ketika jalan hidupnya mulai berganti arah? Aktivis juga manusia biasa yang bisa kehilangan idealisme ketika telah berhadapan dengan realitas lalu memilih melupakan identitas. Dilansir dari liputan6.com, Jokowi menyebut-nyebut beberapa mantan aktivis 98 akan ditempatkan pada posisi penting di periode kedua pemerintahannya. Apakah status mantan aktivis 98 sudah cukup membuat kita yakin bahwa mereka tetap akan pro kepada rakyat atau justru mereka malah menjadi penjilat? Atau suatu hari mantan aktivis 2019 juga akan diberi posisi tinggi di pemerintahan? Negara ini seperti sedang dipermainkan padahal tuntutan rakyat dan akademisi bukanlah ‘guyonan’. Waktu dan keadaan dapat mengubah siapapun yang idealis menjadi realis dan bisa jadi mereka tak mau lagi bergerak secara gratis. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi aktivis mahasiswa yang sejak beberapa waktu lalu telah berjuang turun ke jalan, menyuarakan aspirasinya, membela rakyat Indonesia, membela negaranya yang sedang dijajah oleh bangsanya sendiri. Manusia tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Bisa saja, aktivis mahasiswa yang sekarang turun ke jalan juga akan menduduki kursi pejabat di masa depan. Perihal idealisme tetap ingin dipertahankan atau justru ditinggalkan, semua pilihan di diri individu masing-masing. Dalam dunia politik, tiada musuh abadi, tiada kawan abadi, karena segalanya ditentukan oleh faktor kepentingan.