Era kerajaan Hindu-Buddha memiliki peranan besar dalam mengukir kebudayaan Nusantara, dimulai dari banyaknya prasasti, candi, serta kisah-kisah yang memiliki keberagaman nilai akan kehidupan. Adapun masyarakat yang hidup di era ini, seringkali berandai-andai bagaimana jika Indonesia masih mempertahankan sistem kerajaan Hindu-Buddha hingga sekarang? apakah nama para penduduk memiliki ejaan dalam bahasa Sanskerta yang indah? atau bagaimanakah sistem pembagian wilayah pemerintahan kerajaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya sulit untuk dijawab dengan tepat. Namun, kita bisa menggali kehidupan masa lampau melalui catatan-catatan sejarah yang diwariskan untuk kita yang hidup di masa kini.


Gambar 1. Kota Magelang 
sumber


Magelang merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang memiliki beberapa ikon terkenal, mulai dari tempat pelatihan militer tanah air hingga warisan budaya era kerajaan Hindu-Buddha, yakni Candi Borobudur. Salah satu wilayah di pulau Jawa yang mengandung peninggalan arkeologi Hindu-Buddha dengan kepadatan tertinggi adalah wilayah Magelang. Sisa-sisa tempat peribadatan agama Hindu dan Buddha seperti candi, petirtaan, maupun tempat suci banyak dijumpai di wilayah ini. Prasasti Canggal merupakan salah satu bukti tertulis yang bisa dijadikan jejak penelusuran peradaban lampau di Magelang. Situs ini berada di Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang.


Gambar 2. Prasasti Canggal

sumber


Berdasarkan isi prasasti yang telah diterjemahkan para ahli, diketahui masa kehidupan Magelang sekitar abad ke-8 M (732 M). Hubungan India-Indonesia pada abad ke-7 hingga ke-8 M sangatlah mungkin. Sebab agama Hindu sudah ada dan berkembang di wilayah Magelang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fakta Candi Gunung Wukir maupun Candi Losari yang ditemukan di wilayah Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Bahasa Sansakerta dan huruf Pallawa yang terpahat dalam prasasti Canggal, secara langsung menunjukkan adanya pengaruh India di wilayah Magelang pada abad ke-8 M (732 M). 


Pada era Hindu-Buddha di Magelang, kota ini termasuk dalam Kerajaan Mataram Kuno. Berdasar prasasti tersebut, saat itu sistem pemerintahan yang dijalankan adalah kerajaan, dengan Sanna sebagai raja dan dilanjutkan Sanjaya setelah Sanna meninggal. Mengingat sudah berbentuk kerajaan, tentu sistem birokrasi sudah dijalankan. Namun, di sana tidak dijelaskan apakah Magelang menjadi ibu kota Mataram Hindu pada masa Sanjaya. Nama ibu kota baru disebut pada awal abad ke-10 M, yaitu berdasar prasasti Mantyasih (907 M), penyebut ibu kota pertama adalah Poh Pitu. Hal ini pun tidak memiliki argumentasi yang kuat terkait lokasi asli Poh Pitu.


Gambar 3. Prasasti Mantyasih

sumber


Di sisi lain, diketahui sejak abad ke-7 hingga 10 M sudah tersebar prasasti dan bangunan suci berciri Hindu di wilayah Kabupaten Magelang. Walaupun sejak abad ke-9 M terjadi perkembangan pengaruh Budha yang makin kompetitif. Peninggalan budaya terbesar bagi masyarakat Kabupaten Magelang pada abad ke-8 M ialah bangunan candi. Setidaknya dapat diidentifikasi mengenai beberapa candi yang dibuat pada abad ke-8 M, seperti Candi Gunung Wukir, Candi Gunung Sari, dan Candi Selogriyo. Candi-candi Hindu tersebut, selain menunjukkan adanya peradaban masyarakat, juga menunjukkan adanya kekuatan agama Hindu di wilayah Magelang.


Kemudian, jika kita mengganti lensa ke era Kerajaan Buddha, tampaknya pengaruh agama ini tidak cukup kuat dibanding agama Hindu. Namun, ada beberapa indikasi sejarah yang mengarah pada keberadaan kerajaan Buddha di wilayah Magelang, khususnya terkait dengan keberadaan Candi Borobudur dan candi-candi lain di sekitarnya. Walaupun tidak ada catatan sejarah yang secara eksplisit menyebutkan nama kerajaan tersebut, para ahli sejarah seringkali menghubungkannya dengan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno periode Jawa Tengah. Kerajaan ini diketahui mengalami perubahan dinasti dan orientasi keagamaan. Awalnya bercorak Hindu, kemudian ada periode di saat agama Buddha Mahayana berkembang pesat, terutama pada masa pemerintahan dinasti Syailendra. Mereka diduga kuat sebagai pendukung utama agama Buddha Mahayana di Jawa Tengah pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi.


Gambar 4. Wangsa Syailendra

sumber


Peradaban Hindu Buddha di Magelang membawa wilayah ini dikenal di mata dunia melalui beragam warisan budaya yang ditinggalkan. Hal ini mengindikasikan bahwa peradaban di era tersebut bisa dikatakan cukup maju dan kaya akan nilai estetika. Sampai saat ini pun, wajar saja jika orang-orang mempertanyakan suasana yang terjadi pada saat itu. Meskipun Magelang kini masih kental dengan adat dan budaya Jawa yang terkadang membuat kita seolah-olah hidup di era kerajaan, tetapi peradaban Hindu-Buddha memiliki warna tersendiri yang tentu saja tidak bisa terulang kembali. Oleh karena itu, kita sebagai pewaris budaya nasional sangat bertanggung jawab menjaga warisan budaya nenek moyang agar tidak jatuh ke tangan yang salah.


Penulis : Aufa Virgannisa Agyansa


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama