Fotografer : Wahyu Utami

Kepulan itu masih sama. Seperti dulu. Hitam legam. Mengudara dalam naungan. Berakhir pada langit-langit atap. Kelam. Menyesakkan. Dengan seorang wanita yang setia pada tungku tuanya. Meniup arang yang menyala. Dalam tiap tiupannya doa dari hati sucinya turut serta. Berharap sebuah kehidupan yang lebih baik. Setidaknya untuk penerusnya.

Ingatan itu masih sama. Bahkan terlihat nyata. Sangat nyata. Semua air mata, kerelaan, dan derita. Ia telan mentah-mentah. Walau semua berakhir getah tiada sudah. Dari sebuah perbedaan status sosial semua berawal. Rasa mereka yang membangkang. Semua dipaksa untuk dilanjutkan. Darah dagingnya turut serta menjadi imbas kebencian. Suami yang menjadi satu-satunya harapan kini telah meninggalkan. Menyeleweng. Wanitanya sudah tak secantik dulu. Tak menarik. Ujar lelaki itu. Suaminya lupa mungkin. Wanita itu menjadi ‘buruk rupa’ karena ulah siapa.

Lelaki gagah di teras rumah itu anak Sumarno. Juga anak dari ‘wanita asap’ itu. Anak yang dulu meraung menanyakan kepulangan bapaknya. Ia terlalu kecil untuk tahu bahwa bapak yang dirindukannya telah berada dalam dekapan wanita penggoda. Dan hingga waktu berlalu ‘wanita asap’ itu merenggut peran lelaki tak tahu diri yang dipanggil bapak oleh anak itu. ‘Wanita asap’ membesarkannya. Menyambung hidup melalui kepulan dari tungku tuanya.

Di tiap fajar Ia merayap ke dapur. Mencuci beras. Menyalakan tungku tua. Menyiapkan seperangkat hasil alam sebagai teman nasi untuk mengganjal perut yang memberontak minta diisi. Ikan asin sudah lebih dari mewah bagi mereka. Meski jika dilihat dari lokasi gubuk tempat tinggal mereka seharusnya mereka mampu untuk sekadar makan ikan tongkol. Atau mungkin kepiting yang akan datang ketika musimnya tiba. Dulu mereka mudah mendapatkan kepiting. Namun nampaknya alam kini tak begitu bersahabat. Kepiting ataupun rajungan adanya hanya saat musiman. Sehingga kini harganya lebih mahal. Lebih baik Ia jual. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Semua karena ulah saudaranya sendiri. Manusia. Terlalu tamak. 

Sama seperti Sumarno yang tak kalah tamak itu. Setelah Ia berhasil merampas harta ‘wanita asap’ Ia pun pergi bersamaan dengan wanita penggodanya. Edan memang. Padahal ‘wanita asap’ itu selalu setia menemaninya. Bekerja membantu menopang kebutuhan rumah setelah keduanya diusir oleh orang tua Sumarno. Itulah yang katanya manusia. Katanya mereka mahluk paling mulia. Namun tamaknya mengalahkan buaya.

Ingatan tentang Sumarno dan mertuanya sesekali masih berkelebat jelas di benak ‘wanita  asap’. Tentang bagaimana awal mereka bertemu, berkenalan, memulai hubungan serius, dan pada akhirnya harus berlanjut dengan restu orang tua Sumarno yang setengah-setengah. Pada awalnya semua berjalan dengan baik. Meski tindakan tak menyenangkan selalu Ia peroleh dari keluarga Sumarno. Hingga setahun kemudian anak mereka lahir. Anak yang kini telah tumbuh menjadi lelaki Gagah yang duduk di teras rumah itu. Dan pada usia ketiga anak mereka Sumarno pergi dengan harta rampasan yang Ia peroleh dari ‘wanita asap’ bersama wanita penggoda tak tahu diri itu

Hingga pada akhirnya ‘wanita asap’ menghidupi dirinya sendiri dan anak lelakinya. Sama sekali tanpa tanggung jawab Sumarno, bajingan kawakan itu. Melalui kepulan asap di tiap fajar Ia merenda kehidupan. Menjalani takdir yang sudah tergariskan khusus untukya. Menjemput rezeki di tengah laut. Kemudian ke pasar untuk merubah wujudnya menjadi pundi-pundi uang juga bahan makanan untuk esok hari. Melalui laut dan kepulan di tiap fajar itulah ‘wanita asap’ menghantarkan anak lelaki semata wayangnya menjemput kehidupan yang lebih baik. Sesuai harapannya selama ini di tiap kepulan yang Ia ciptakan pada tiap-tiap fajar. Gagah telah membahagiakan ibunya, ‘wanita asap’ itu. Gagah juga telah membayar telak semua luka yang harus dipikul ibunya, ‘wanita asap’ itu.

Tak banyak yang Gagah tahu. Tentang siapa sebenarnya bapaknya. Apakah manusia atau bajingan tak beradab ? Semua masih menjadi tanya. Yang Gagah tahu satu-satunya yang harus Gagah bahagiakan adalah ibunya, ‘wanita asap’ itu.

Karya: Siti Marfuah (MG1274), Wahyu Utami (MG1284)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama