foto : https://images.app.goo.gl/8NoyQ73fgCPoH3Q87
Kututup pintu kamarku perlahan agar kedua orang itu tidak mendengarnya. Apabila mereka menyadari kehadiranku hanya akan memperkeruh suasana. Pukul 22.37 waktu yang sedikit terlambat untukku tidur tetapi waktu yang tepat untuk kedua orang itu beradu mulut karena tak akan banyak orang yang mendengarnya. 

“Braakk!!” kaki kursi plastik itu retak terbanting di lantai. Wanita separuh baya menatap nanar kursi itu. 
“Kau pikir dengan membanting kursi ini permasalahanmu terselesaikan? Berpikirlah dengan tenang dan diamlah bila kau ada masalah!”seru wanita itu. Laki-laki di hadapannya memalingkan muka dan berjalan ke kamar lalu menutup pintu. 
“Tidurlah, Nak. Aku tahu kamu masih terjaga, lekas istirahatlah besok berangkat pagi sekolah,” aku segera mematikan lampu kamar dan menarik selimut seraya berdoa menjelang tidur. Doaku sederhana aku ingin laki-laki itu segera “berpulang”, apakah terlalu kejam doa yang selalu aku lantunkan menjelang tidur ini? Aku selalu berharap itu benar terjadi di esok harinya.

***
Sewaktu kecil setiap sore aku pergi mengaji di mushola dekat rumahku, pelajaran yang paling aku benci adalah cerita mengenai keluarga yang harmonis. Cerita masa kecil ustadku yang dipaksa orang tuanya masuk pesantren dan sekarang ia berterimakasih kepada orang tuanya, cerita temanku yang mendapat hadiah saat kenaikan kelas maupun apapun itu bila menyangkut keluarga mereka. Rasa iri sewaktu dini kini tumbuh menjadi kebencian yang mendalam. 

Aku tidak berkeluh kesah mengenai dua orang yang selalu beradu mulut setiap malam di rumahku, aku tidak meminta mereka berdamai, aku tidak akan mengambil pikiran rumit tentang mereka karena aku sudah berdoa setiap malam untuk laki-laki itu. Dan itu sudah cukup. Aku akan bersabar menunggu Tuhan mengabulkannya. Terhitung dari umurku 10 tahun aku mulai mendoakan laki-laki itu dan menunggu hari esok terkabul. Alasanku sebenarnya sederhana keinginan untuk bisa tidur tenang di malam hari. Jika ada yang bertanya kata durhaka kepadaku aku akan menjawab diriku jawabannya.  

Pagi hari setelah 12 tahun menanti, doa yang selalu aku lantunkan tiap malam tak terkabul. Justru wanita malang yang menatap nanar kursi plastik retak itu berpulang dahulu menyisakanku dengan laki-laki itu. Hal ini tidak membuatku berhenti berdoa doa yang sama setiap malam. Setidaknya malam menjadi lebih sunyi dan dingin. Aku menikmatinya setiap detiknya, tapi malamnya aku mendengar isak tangis laki-laki itu sangat pilu kedengarannya. Pikiranku kosong mendengarnya lalu menjelang tidur aku berpikir apakah aku tetap akan berdoa seperti biasa atau kuhentikan saja. Aku memilih tidak untuk malam ini.

***
Mendung menyelimuti langit begitu pekat. Segerombolan wanita paruh baya berpakaian gelap berjalan lambat dari arah rumah berbendera putih.

“Bukankah kematian mereka begitu tragis?” 
“Memang, tapi siapa yang bisa menghindari kematian seseorang?”
“Mungkinkah sebuah doa?” wanita paruh baya lainnya terdiam mendengar pertanyaan itu dan berjalan membisu menuju rumah masing-masing. 

Karya : Atika Rahmi Fitri (MG1209), Rizki Nur Utami (MG1262)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama