Emansipasi adalah bentuk pembebasan diri dari segala belenggu. Hampir sudah satu setengah abad yang lalu, pahlawan kita R.A Kartini memperjuangkan hak-hak wanita terutama dalam hal pendidikan. Perjuangannya berbuah manis karena saat ini, kita (perempuan) dapat merasakan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Emansipasi dalam pendidikan sudah terbukti dengan banyaknya perempuan independen. Namun, seperti kata Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul “Karawang-Bekasi”, belum selesai. Emansipasi ini belum selesai.

Dikalangan sosial, terutama di daerah yang masih memegang erat adatnya, budaya patriaki seolah masih dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini sering kali mengharuskan perempuan tunduk pada laki-laki atau dinomorduakan dalam berbagai hal. Tanpa sadar, hak-hak  perempuan terenggut. Selain itu, masyarakat di Indonesia masih sering menyudutkan perempuan dan membatasi ruang geraknya. Emansipasi masih dianggap tabu dan disalahartikan sebagai pemberontakan, kebencian, penghinaan, penyelewengan kebudayaan Indonesia, dan dianggap kebarat-baratan. Padahal emansipasi merupakan suatu bentuk dari realisasi perjuangan hak-hak perempuan.

Masih banyak hal-hal yang membatasi perempuan dalam hidupnya. Sebuah kalimat,   “Untuk apa perempuan bersekolah tinggi-tinggi, ujungnya juga hanya di dapur, mengurus suami,” tentu masih sering didengar. Masyarakat di negeri ini juga sepertinya masih kaku dan lucu. Katanya, perempuan jangan sampai menjomlo sampai usia 30 tahun, nanti tidak laku, jadi perawan tua. Ada pula kalau sudah menikah, perempuan akan ditanya, “kapan nih punya anak?” dan lain sebagainya. Padahal itu semua adalah pilihan hidup masing-masing perempuan.

Membahas tentang perempuan sebagai masyarakat Indonesia, salah satu hal yang masih sering dipermasalahkan adalah tentang ‘Standar Kecantikan’ yang sebenarnya tidak ada. Dilansir dari KETIKUNPAD, Standar kecantikan di Indonesia umumnya adalah berkulit putih dan bersih, rambut lurus, hitam dan panjang. Padahal rata-rata perempuan di Indonesia berkulit sawo matang. Lalu, apakah perempuan itu tidak cantik? Jika melihat dari sudut pandang berbeda, semua perempuan cantik dengan dirinya sendiri. Baik itu yang berkulit putih, sawo matang, hitam, rambut lurus, keriting, hidung mancung, dan lain lain. Jika standar itu didasarkan pada mereka yang berkulit putih, tinggi, hidung mancung, rambut lurus, lantas mengapa Tuhan menciptakan manusia beragam? Bukankah pelangi terlihat indah karena perbedaan warna? Ditambah lagi dengan produk-produk kecantikan yang ada, seringnya yang kita lihat adalah produk memutihkan kulit, pembuat bulu mata lentik dan sejenisnya. Namun jarang yang memperhatikan sisi kesehatan. Padahal justru kesehatan dari kulit misalnya itu jauh lebih penting. Tidak bisa dipungkiri, itu semua juga termasuk dalam pengaruh sosial media yang semakin hari semakin tidak karuan jika kita tidak menyaringnya dengan baik.

Tak jarang, jika kita melihat sosial media masih banyak laki-laki yang menilai kehormatan perempuan hanya sekedar dari sebuah ‘keperawanan.’ Banyak dari laki-laki menjadikan keperawanan sebagai salah satu syarat agar perempuan bisa dianggap layak dinikahi. Dilansir dari BBC, seorang hakim perempuan mengusulkan adanya tes keperawanan untuk menekan angka perceraian, alasannya agar rumah tangga sekarang mutlak suci, bersih, dan tidak bernoda. Bukti-bukti tersebut merupakan salah satu diskriminasi terhadap penghormatan perempuan, seakan masalah perceraian hanya disebabkan oleh selangkangan perempuan.

Tak hanya stereotip yang melekat pada perempuan, perjuangan emansipasi oleh perempuan berlanjut pada adanya kabar-kabar buruk. Belakangan ini wanita sering dijadikan objek seksualitas, misalnya pelecehan dilingkungan perguruan tinggi. Pelaku pelecehan sering mengambil kesempatan jika ada celah, di tempat umum, institusi pendidikan, bahkan di rumah sendiri.. Dilansir dari justika.com, pada semester pertama di 2021 ini, sudah tercatat 2000 kasus yang menimpa perempuan dan anak. Selanjutnya, perkembangan ke belakang ini melompat hampir dua kali lipat yaitu berada di atas angka 3000 kasus.  Belum lama ini kita juga dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual di lingkungan beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Satu survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik, Koalisi Ruang Publik Aman menemukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), jalanan (33%) dan transportasi umum (19%). Dikutip dari cnnindonesia.com, kepolisian menaikkan status kasus dugaan pelecehan mahasiswi Universitas Riau (Unri) oleh dosen ke tahap penyidikan. Kabid Humas Polda Riau Kombes Sunarto mengatakan dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa saksi-saksi dan pihak korban, termasuk terduga pelaku seorang dosen yang menjabat Dekan FISIP UNRI Syafri Harto. Hal tersebut adalah salah satu dari ribuan kasus yang terjadi di Indonesia.

Sering kali perempuan juga mendapat penghakiman atas pelecehan seksual atau kekerasan seksual yang mereka alami, “mungkin dia pakai baju yang mengundang,” “sudah besar harusnya bisa jaga diri, hasrat seksual tidak bisa dikontrol,” atau “katanya emansipasi, harusnya perempuan bisa melawan.” Meski tak banyak, tanggapan-tanggapan tersebut terkesan menyudutkan penyintas sehingga menimbulkan ketakutan bagi penyintas pelecehan atau kekerasan seksual untuk terbuka. Perempuan ditekan untuk menjaga dirinya, tetapi pelaku tidak ditekankan untuk menjaga nafsunya. Maka dari itu pendidikan seks sejak dini merupakan yang hal penting bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan.

Di lansir dari CNN Indonesia, di masa COVID-19 ini, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga meningkat. Berdasarkan hasil data Komnas Perempuan, ada sekitar 2.592 pelaporan dihitung sejak 2020 sampai Juni 2022. Peningkatan pelaporan tersebut juga berdampak pada bertambahnya angka kehamilan dan kematian Ibu dan janin. Ini merupakan salah satu bentuk terenggutnya hak reproduksi perempuan. Berdasarkan contoh peristiwa tersebut, terbukti belum banyak kesadaran akan emansipasi wanita. Perlu pengkajian pada sistem pemerintah dan oknum-oknum 'nakal', terutama pada kurang tanggapnya oknum kepolisian, kurang tegasnya hukum terhadap pelaku pelecehan, juga undang-undang yang terus mengalami revisi bahkan sampai saat ini belum disahkan. Beberapa hal tersebut membuat suara emansipasi perempuan terasa hambar, teriakan emansipasi tak terdengar atau memang tak didengar.

Isu perempuan memang sensitif untuk dibahas, banyak orang yang belum terbuka atas permasalahan kesetaraaan ini. Namun, rasanya zaman telah banyak berubah, anggapan untuk menormalisasi bahwa perempuan wajib tunduk pada laki-laki harusnya segera dihapuskan. Emansipasi adalah sebuah bentuk penyetaraan, maka laki-laki tidak boleh menyepelekan perempuan begitupun sebaliknya. Maksud dari emansipasi ini adalah laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan yang dapat saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama agar mampu berjalan bersama, mendapat hak yang sama, dan mendapat kehormatan yang sama karena isu ini tidak hanya penting bagi perempuan, tetapi penting bagi kemajuan bangsa dan negara.

Penulis: FDR & FPE

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama